“Artinya total pekerja yang melingkupi sektor ini bisa mencapai 30 jutaan orang. Sering kali memang sektor ini terlihat tidak banyak menyerap tenaga kerja. Namun bila diperhatikan sangat besar keterkaitan tenaga kerja di sektor ikutan lainnya yang ditopang industri ini,” katanya.
Mulai dari industri bahan bangunan, semen, besi baja, kayu, cat, asesoris rumah, furnitur, juga perusahaan konsultan perencana arsitek, sipil, pemasaran, advertising, notaris, bank, sampai usaha UMKM dan warteg akan tumbuh ketika sebuah proyek properti dikembangkan.
Baca Juga: DP KPR 0%, REI Banten: Kesempatan Bagus Bagi Masyarakat Miliki Rumah
Kedua kata Ali, saat ini penggunaan material di sektor perumahan mulai hampir 100 persen merupakan produk lokal, menyusul Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mewajibkan para pengembang menggunakan produk lokal untuk setiap pengerjaan proyek properti.
“Kebijakan ini untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional (PEN). Dengan demikian maka produktifitas industri lokal akan semakin meningkat,” katanya.
Ketiga, sebagian besar pengembang properti merupakan pengembang lokal yang harus lebih dijamin keberlangsungannya. Saat ini banyak pengembang yang mulai menjerit kesulitan cashflow karena anjloknya permintaan. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan sektor real estate pada Q4/2020 masih tumbuh 1,98 persen, namun strategi bertahan yang dilakukan pengembang tidak dapat bertahan terlalu lama lagi.
“Karena semakin lama permintaan semakin menurun dan seleksi pengajuan KPR dari konsumen semakin ketat dari perbankan. Bila industri ini kolaps, maka dikhawatirkan akan berimbas sangat berat bagi industri ikutan terkait,” katanya.
Keempat, total nilai kapitalisasi penjualan properti primer rata-rata, diperkirakan berkisar antara Rp 85 – 100 triliun per tahun, dimana sebesar minimal 65 persennya didominasi oleh perumahan, selebihnya terbagi untuk tanah, apartemen, komersial, dan perkantoran.
“Kelima, penjualan properti sekunder memberikan kontribusi yang sangat besar dari keseluruhan properti. Transaksi di pasar sekunder, diperkirakan mencapai Rp 115 – 150 triliun yang dilakukan oleh agen broker master franchise, agen properti lokal, sampai broker tradisional,” katanya.
Nilai tersebut kata dia memberikan kontribusi minimal 61,5 persen dari total keseluruhan transaksi properti. Nilai ini seringkali tidak tercatat dan tidak diketahui pasti, namun sebagian besar pihak memastikan nilainya lebih tinggi dibandingkan penjualan properti di pasar primer.
“Dengan demikian diperkirakan total perputaran penjualan properti di Indonesia mencapai Rp 200 – 250 triliun per tahun,” katanya.