Hal ini terkait pasal 144 (1) di Undang-undang (UU) Cipta Kerja tersebut yang menyebutkan bahwa, hak milik atas satuan rumah susun (sarusun) dapat diberikan kepada warga negara asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Penyebutan hak milik disini menjadi tidak jelas karena menurut Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 29 Tahun 2016, hak milik Sarusun adalah kepemilikan oleh warga negara Indonesia (WNI) atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan,” ujar CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda dalam keterangan tertulis yang diterima Ekbisbanten.com pada Minggu (11/10).
Sementara untuk orang asing, menurut Permen tersebut kata dia, hanya dapat berupa hak pakai atas satuan rumah susun (hak pakai sarusun), yaitu hak milik Sarusun yang dipunyai atau dimiliki orang asing.
“Jadi dengan adanya penyebutkan hak milik atas sarusun pada pasal 144 (1) di UU Cipta Kerja, perlu ada penegasan seperti apa yang dimaksud,” ujar Ali.
Sementara itu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015, kepemilikan apartemen bagi WNA sudah dimungkinkan dengan hak pakai. Bahkan pada UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 pun, WAN sudah bisa memiliki properti dengan hak pakai.
“Dalam pasal 4 di PP Nomor 103/2015 disebutkan bahwa hunian yang dapat dimiliki oleh WNA adalah rumah tunggal di atas tanah hak pakai atau hak pakai di atas hak milik,” katanya.
WNA juga dapat memiliki satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah hak pakai. Namun demikian lanjut Ali dalam PP tersebut tidak menyebutkan ‘hak milik sarusun’ dan hanya dikatakan bisa memiliki ‘sarusun’ diatas hak pakai. Apakah itu berupa hak milik sarusun atau hak pakai atas sarusun.
“Seperti yang kita ketahui bersama bahwa saat ini hampir semua apartemen yang dijual memiliki hak guna bangunan (HGB) dan bukan hak pakai. Bila WNA bisa memiliki dengan hak pakai, bagaimana proyek-proyek aparteman yang saat ini memiliki HGB,” terang Ali.
“Apakah bisa langsung diberikan hak milik atas sarusun kepada WNA karena itu akan menyalahi aturan kepemilikan. Bila tidak apakah semua proyek apartemen harus dialihkan dulu menjadi hak pakai. Beberapa hal ini harus dapat dijelaskan secara rinci oleh pemerintah karena bila tidak dilakukan, ini hanya membuat kebingungan pasar,” sambung Ali.
Menurut dia, beberapa hal itu yang harus ditegaskan melalui turunan Omnibus Law ini karena ternyata masih belum jelas betul mengenai aturan kepemilikan ini.
“Sejak PP yang dikeluarkan tahun 2015 pun terlihat bahwa WNA belum tertarik untuk membeli apartemen di Indonesia. Bisa jadi masih ruwetnya proses kepemilikannya sehingga mereka pun tidak terlalu antusias,” katanya.
Pihaknya menambahkan, apa yang dinyatakan di Omnibus Law jangan kemudian menjadikan pasar lebih bingung lagi.
“Pemerintah harus secara detail dapat menjelaskan terkait seperti apa hak milik atas sarusun yang dimaksud dan bagaimana prosesnya,” katanya.
Karena ini isu lama yang tidak selesai-selesai, banyak kebijakan dan payung hukum yang belum siap.
“Apakah ini menjadi angin segar bagi pasar apartemen? Boleh saja banyak pihak yang menilai kepemilikan WNA ini menjadi angin segar. Hal ini belum tentu serta merta akan menarik minat asing untuk membeli apartemen, apalagi mendongrak penjualan apartemen. Jadi jangan dibalik logika pasarnya. Dengan aturan yang sudah baik pun, belum tentu WNA akan tertarik beli apartemen di Indonesia bila tidak disertai dengan kepastian hukum, stabilitas ekonomi politik, dan iklim investasi yang baik,” pungkasnya. (*/Red)
]]>