Bukan tanpa alasan, Ali menambahkan saat ini daya beli masyarakat menengah-atas relatif masih cukup baik meskipun terganggu. Sebagian masih menyimpan uangnya di bank dan menunda pembeli properti.
Berdasarkan analisis yang dilakukan Indonesia Property Watch, diperlihatkan juga bahwa penjualan properti yang maish mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2019 berada di segmen harga Rp 500 – 2 miliar, sedangkan di segmen lebih dari Rp 2 miliar meskipun mengalami penurunan namun bukan berarti tidak memiliki daya beli. Sebagian besar menunda pembeli properti.
“Dengan hanya kebijakan tanpa uang muka, tidak akan terlalu menarik bagi mereka untuk membeli properti. Karena nilai transaksi propertinya tetap tidak berubah dan hanya kemudahan pembayaran,” katanya.
Namun demikian berbeda bila insentif yang diberikan terkait pengurangan pajak BPHTB dari saat ini 5 persen menjadi 2,5 persen seperti yang diusulkan Indonesia Property Watch, atau bahkan ditambah pengurangan PPN 10 persen yang diusulkan Real Estat Indonesia (REI).
“Dengan adanya pengurangan biaya ini, konsumen properti akan lebih tertarik untuk menyimpan uangnya di properti karena secara nilai transaksi lebih rendah dari kondisi normal. Tentunya pengurangan ini tidak harus diberlakukan selamanya jika memang pemerintah keberatan,” katanya.
Namun menurutnya, paling tidak dalam 1 tahun ke depan, strategi relaksasi ini yang akan membuat pasar properti diperkirakan akan tetap meningkat dalam kondisi pandemi seperti saat ini.
“Indonesia Property Watch memperkirakan bahwa dengan adanya gabungan kebijakan LTV/FTV, penurunan suku bunga, dan pengurangan biaya-biaya pajak dan BPHTB akan memberikan daya dorong yang sangat signifikan untuk dapat mengubah perilaku pasar konsumen untuk membeli properti sehingga dapat menggerakan sektor industri ini secara luar biasa,” pungkasnya. (*/ismet)
]]>