Oleh Muhamad Arif Iqbal*
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu pilar demokrasi yang sangat penting dalam suatu negara. Pemilu yang bersih, adil, dan transparan adalah inti dari sebuah sistem demokratis yang sehat. Namun, menyelenggarakan pemilu bukanlah tugas yang mudah, dan Pemilu 2024 di Indonesia juga tidak luput dari berbagai kerawanan yang perlu dicermati dan ditangani, termasuk di Provinsi Banten.
Berdasarkan hasil Indeks Kerawanan Pemilu (IPK) yang dirilis oleh Bawaslu RI, Provinsi Banten menjadi salah satu daerah yang memiliki tingkat kerawanan pemilu yang sedang dengan skor 66, 53. Diantara 4 dimensi IPK Bawaslu, Banten masuk dalam kategori ‘bermasalah’ di dimensi penyelenggaraan pemilu dengan skor dimensi 70,28, dan di dimensi kontestasi dengan skor 30,60. Sementara IPK di tingkat kab/kota di Banten, Kab. Pandeglang terindikasi bermasalah di dimensi kontestasi dengan skor IPK 98,52.
Dimensi Penyelenggaraan Pemilu
Dalam dimensi ini, indikator permasalahan mencakup, pertama adanya potensi pelanggaran atau malpraktek atau manipulasi yang terkait dengan penggunaan hak memilih warga Negara. Kedua, adanya pelanggaran, malpraktek atau manipulasi sehingga menimbulkan adanya gangguan terhadap proses kampanye. Ketiga, adanya pelanggaran, malpraktek atau manipulasi sehingga menimbulkan gangguan terhadap proses pemungutan suara yang berlangsung. Keempat, adanya gugatan dan keberatan serta sengketa atas hasil pemilu. Kelima, tidak adanya pengawas pemilu di tingkat TPS dan tingkat kelurahan.
Terkait dengan lima poin tersebut di atas, Banten terindikasi masih ditemukannya pemilih ganda, adanya penyelenggara Pemilu yang menunjukan sikap keberpihakan dalam tahapan kampanye, ada keterlambatan perlengkapan (logistik) pemungutan suara, adanya logistik berupa surat pemungutan suara yang tertukar, adanya pemungutan atau penghitungan suara ulang di Pemilu/Pilkada serta adanya gugatan atas hasil Pemilu/Pilkada.
Dengan IPK 89,43, Banten menempati urutan keenam setelah Sulawesi Tenggara dalam dimensi ini. Termasuk di dalamnya Kabupaten Lebak dengan skor IPK 93,86. Hal itu tentu saja harus menjadi perhatian bagi penyelenggara pemilu dalam menjalankan proses pelaksanaannya. Pembenahan dan penguatan internal KPU menjadi bagian dari strategi agar dapat mengeleminir segala potensi pelanggaran
Dimensi Kontestasi
Setelah masa pendaftaran bacaleg dibuka, partai politik beserta bacalegnya mulai menyusun rencana pemenangan dan saat ditetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT), merekapun mulai bergerak melaksanakan strategi yang diyakini akan mampu mendongkrak perolehan suara. Terlebih di tahapan kampanye yang menjadi momentum untuk membangun popularitas sekaligus mendapat elektabilitas. Hanya saja, tahapan ini memiliki potensi besar tindak pelanggaran oleh peserta maupun penyelenggara.
Dimensi kontestasi menjadi ruang terjadinya penolakan terhadap kandidat/ peserta pemilu atas dasar gender, etnis, suku, agama atau ras yang mengakibatkan potensi kerawanan sosial di masyarakat, semisal adanya penolakan terhadap calon perempuan, atau ditemukannya dokumen palsu dalam proses pencalonan. Demikian pula dengan indikasi adanya informasi ataupun materi kampanye yang berpotensi mengganggu ketertiban dan keamanan di masyarakat serta juga dapat berpotensi melanggar aturan berkampanye yang sudah ditetapkan, semisal iklan kampanye di luar jadwal, materi kampanye yang bermuatan SARA di tempat umum atau media sosial, adanya konflik antar pendukung peserta, Adanya Laporan tentang Politik Uang yang dilakukan oleh Peserta/Tim Sukses/Tim Kampanye, atau adanya peserta pemilu/calon yang tidak melaporkan dana kampanye.
Banten menempati urutan ke 11 dalam dimensi ini dengan skor 57,97. Kabupaten Pandeglang sebagai wilayah konsentrasi pelanggaran terbesar, yakni 98,52, hampir mencapai skor maksimum, disusul Kota Serang 62,43 dan Kabupaten Lebak 60,58. Sementara Kab. Serang, Kota CIlegon, Kota Tangerang dan Kota Tangsel berkategori sedang.Pertanyaan lanjutannya adalah harus bagaimanakah penyelenggara pemilu, peserta pemilu serta pemilih bersatu padu menindaklanjuti kerawanan tersebut. Diperlukan rencana, strategi dan kebijakan antisipatif agar pemilu kita kualitasnya meningkat.
One Man One Vote; Mencipta Pemilu Berkualitas
“Satu Orang, Satu Suara.” Ide sederhana namun mendalam ini menggambarkan inti dari pemerintahan demokratis, menekankan partisipasi yang sama dari semua warga negara dalam proses pengambilan keputusan. Kesetaraan, Inkulsivitas, dan Representasi hendaknya menjadi prinsip kita dalam menjalankan demokrasi, termasuk bagi penyelenggara pemilu. Suara setiap warga negara yang memenuhi syarat memiliki bobot yang sama dengan suara warga negara lainnya. Tanpa memandang latar belakang, kekayaan, atau status sosial seseorang, semua orang dianggap setara di mata demokrasi.
Semua warga negara, tanpa memandang ras, jenis kelamin, agama, atau keyakinan, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan. Ini menghilangkan diskriminasi berdasarkan karakteristik apa pun selain kewarganegaraan. Selain itu, kita mesti memastikan bahwa wakil yang terpilih harus bertanggung jawab kepada seluruh pemilih. Mereka harus memberikan prioritas kepada kesejahteraan dan kepentingan semua konstituen, bukan hanya segelintir orang yang dipilih.
“Satu Orang, Satu Suara” menjadi simbol yang abadi dari nilai-nilai demokratis. Ini tidak hanya melambangkan partisipasi yang setara dari warga negara dalam proses politik, tetapi juga prinsip kesetaraan, inklusivitas, dan representasi. Meskipun tantangan masih ada, masyarakat di seluruh dunia terus berusaha untuk mewujudkan prinsip demokratis yang lebih sempurna ini, mengakui peran sentralnya dalam membentuk masa depan yang adil dan setara bagi semua. “Vox populi, vox dei”, semoga.
* Penulis adalah Pemerhati Kepemiluan