Waspada Next Pandemic
EKBISBANTEN.COM – Pada berbagai tajuk berita online sangat mudah kita peroleh informasi tentang adanya risiko kesehatan pada “alumni COVID-19”, serta kemungkinan akan adanya Next Pandemic yang jauh lebih berbahaya. Terkait risiko kesehatan yang disampaikan dalam hasil penelitian oleh Universitas Oxford menemukan lebih banyak abnormalitas di paru-paru, otak, dan ginjal pada pasien-pasien “alumni COVID-19”. Dalam tulisan ini tidak akan membahas persoalan tentang kecemasan yang dirasakan oleh Penulis sebagai “alumni” tentang risiko tersebut, namun akan berbicara tentang bagaimana mengambil pelajaran dari pandemi yang lalu untuk menyikapi peristiwa Next Pandemic khususnya terkait masalah ekonomi. Secara ekonomi selama pandemi COVID-19 Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang mampu membuat kebijakan mencegah penyebaran COVID-19 yang tidak menganggu pertumbuhan ekonomi. Kita ketahui bahwa Indonesia secara resmi mengumumkan pasien pertama terinfeksi pada 2 Maret 2020 dan pada bulan April 2020 pemberlakuan kebijakan pembatasan aktivitas untuk pencegahan penyebaran. Jika dihitung dari pertama kali terdeteksi di Cina pada akhir 2019, artinya setelah empat bulan COVID-19 memasuki wilayah Indonesia dan jika pada saat ini virus Nipah adalah the Next Pandemic, artinya pada saat akhir tahun 2023 dan tahun baru 2024 perlu diwaspadai sebagai celah pintu masuk virus ke Indonesia.
Akurasi Intervensi Menjaga Pertumbuhan Ekonomi
Pada awal diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yaitu April 2020, mobilitas aktivitas kegiatan ekonomi sangat terdampak sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2020 minus 4,19 persen. Intervensi PSBB hanya mampu menahan mobilitas manusia namun tidak untuk kegiatan ekonomi dengan dibuktikan oleh tumbuhnya perekonomian pada kuartal III 2020 sebesar 5,05 persen. Bukti kuat lainnya terkait langkah tepat pemberlakuan PSBB ataupun Pembatasan Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat (PPKM) bukan kebijakan “Lockdown” yaitu terlihat bahwa keberadaan puncak kasus COVID-19 varian Delta pada bulan Juli 2021 dan puncak kasus varian Omicron di bulan Februari 2022, pertumbuhan ekonomi di kedua kasus puncak ini tumbuh positif 1,57 persen (kuartal III 2021) dan 3,73 persen (kuartal II 2022).
Terlihat jelas bahwa langkah kebijakan pencegahan penyebaran penyakit di masa pandemi COVID-19 sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Ketepatan pemberlakuan PPKM baik dari aspek waktu ataupun cakupan wilayah menjadi kunci dalam keberhasilan tidak hanya pencegahan penyakit namun juga pertumbuhan ekonomi.
Mengelola Krisis dan Anomali Pertumbuhan Ekonomi
Ancaman resesi global, dampak krisis pandemi dan kondisi ketidakpastian kapan akan berakhirnya perang Rusia-Ukraina akan semakin memperberat tantangan jika benar next pandemic terjadi. Hal ini didasarkan pada beberapa fakta yaitu pertama, sejak dilakukan Invasi Rusia ke Ukrania pada hari Kamis 24 Februari 2022 hingga hari ini berarti sudah hampir dua tahun perang terjadi dan belum menunjukkan adanya tanda-tanda perang akan berakhir dalam waktu dekat. Kedua, berita tentang virus Nipah seakan menjadi jawaban pernyataan Bill Gates, “ia menilai pandemi berikutnya akan datang dengan virus yang lebih mematikan, bahkan bisa membunuh ratusan juta nyawa manusia” pada saat mengunjungi India di Maret 2023. Potensi virus Nipah menjadi the Next Pandemic sekiranya perlu diwaspadai mengingat pada bulan Agustus 2023 dilaporkan ada 6 orang di Negara Bagian Karala India terinfeksi virus Nipah dan 2 diantaranya meninggal dunia.
Sekiranya tepat apabila kembali melihat bagaimana kondisi pengendalian pandemi COVID-19 dan pertumbuhan ekonomi untuk level provinsi sebagai refleksi dari praktek pemberlakuan PSBB dan PPKM, terutama di pulau Jawa-Bali dan pulau Sumatera. Salahsatu pertimbangan dalam penetapan statusnya adalah melihat keadaan risiko relatif penyebaran penyakit di suatu area. Nilai risiko relatif yang tinggi, artinya semakin besar risiko penyebaran tentunya semakin buruk bagi perekonomian. Daerah yang diberlakukan PSBB ataupun PPKM dalam level yang semakin ketat artinya memiliki nilai risiko relatif semakin besar. Apabila nilai risiko relatif digunakan untuk menggambarkan keadaan pemberlakuan kebijakan PSBB ataupun PPKM, semakin besar nilainya berimplikasi kepada pembatasan aktivitas kegiatan yang semakin ketat termasuk aktivitas ekonomi sehingga dampaknya akan memperburuk kondisi perekonomian yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Hubungan risiko relatif dan pertumbuhan ekonomi yang seperti ini disebut hubungan negatif. Semakin besar risiko relatif (kondisi semakin buruk) semakin rendah pertumbuhan ekonomi.
Provinsi yang terletak di pulau Kalimantan, Sulawesi, Malpanus (Maluku Papua Nusa Tenggara) menunjukkan hubungan negatif antara risiko relatif penyebaran dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini berbeda dengan keadaan di pulau Jawa-Bali-Sumatera memperlihatkan anomali pengaruh risiko relatif dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan positif tetap terlihat pada saat memotret kondisi pulau Jawa-Bali ataupun pulau Sumatera secara terpisah, meskipun berbeda pada besarnya ukuran risiko relatif.
Nilai risiko relatif provinsi yang berada di pulau Jawa-Bali tidak hanya selalu berisiko tinggi, namun juga memiliki tren meningkat, dimana dapat kita lihat pada puncak kasus varian Delta di bulan Juli 2021 sejalan dengan nilai risiko relatif di kuartal III 2021 yang paling tinggi. Hal ini sekiranya sangat relevan jika fokus kebijakan PSBB ataupun PPKM diterapkan di wilayah ini. Meskipun terjadi peningkatan nilai risiko relatif di kuartal III 2020, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2020 tetap tumbuh positif bahkan untuk kuartal IV 2020. Pada tahun 2021 semakin jelas menunjukkan anomali, pada saat terjadi peningkatan risiko relatif, pertumbuhan ekonomi masih tumbuh positif. Hubungan positif keduanya dibuktikan oleh nilai parameter risiko relatif bernilai positif dari pengamatan penulis. Hal serupa juga berlaku untuk provinsi pulau Sumatera. Penjelasan terkait hubungan positif risiko relatif dengan pertumbuhan ekonomi di pulau Sumatera menjadi lebih mudah mengingat mayoritas provinsi yang ada berada pada tingkat kategori risiko rendah, sehingga level kebijakan yang diberlakukan tentunya sangat longgar. Hal yang sangat menarik pada saat kita lihat di periode kuartal IV 2020 untuk provinsi di pulau Jawa-Bali tumbuh positif (0,35 persen) sedangkan provinsi di pulau Sumatera negatif (-0,08 persen), dimana status provinsi di pulau Jawa-Bali mayoritas adalah risiko tinggi sedangkan pulau Sumatera mayoritas provinsi risiko rendah. Pertanyaan besarnya adalah apakah yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Penjelasannya adalah konsentrasi ekonomi pulau Jawa-Bali sebagai penyumbang PDRB nasional terbesar, dapat cepat bergerak kembali ekonominya bila dilakukan pengaturan pembatasan yang terukur dan tepat. Sinergi kebijakan fiskal dan moneter yang lebih longgar pada masa pandemi, berkaitan dengan fokus pada belanja kesehatan, perlindungan sosial dan pemulihan ekonomi, juga menjadi kunci mengelola krisis yang dihadapi.(***)
Samsul Arifin, Penulis adalah Dosen di Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Sebagai dosen dengan kompetensi keilmuan di bidang ekonomi murni, telah banyak menulis tentang isu-isu ekonomi dan pembangunan. Beberapa tulisan yang sudah dipublikasikan diantaranya : 1) Menguji Konvergensi Ekonomi di Tengah Pandemi; 2) Gender dan Pertumbuhan Ekonomi; 3) Transformasi Ekonomi Banten di Masa Depan; 4) Demografi dan Pertumbuhan Ekonomi Banten.
Sayifullah, Penulis adalah Peneliti dan Dosen di Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis saat ini aktif mengajar di Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan. Selain sebagai Peneliti dan Dosen, penulis juga aktif menulis di media. Beberapa tulisannya sudah dipublikasikan di media elektronik diantaranya : 1) Kemandirian Fiskal Daerah : PR Otonomi Daerah; 2) Mengakhiri Masalah Kemiskinan; 3) Desentralisasi Fiskal 2.0 : Menjawab PR Otonomi Daerah; 4) Mengukur Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas; 5) PR Besar Pemimpin Banten 2024.