SERANG, EKBISBANTEN.COM – Penjabat (Pj) Gubernur Banten, Al Muktabar baru saja merilis penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) pada Rabu (11/12).
Namun penetapan UMP dan UMSP tersebut dipertanyakan lantaran Pj Gubernur ditenggarai belum menerbitkan SK Dewan Pengupahan dengan jumlah anggota yang berimbang antara Unsur Pekerja dan Pengusaha sebagaimana ketentuan yang berlaku.
“Sehingga hal ini menjadi tanda tanya, apakah keputusan Pj tersebut sah,” ungkap Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Indonesia Provinsi Banten, Yakub F. Ismail.
Ia mengatakan, sebagaimana informasi yang diterima bahwa permohonan tersebut sudah diajukan sejak bulan September 2024 lalu.
“Namun begitu, mengingat jadwal perundingan dewan pengupahan yang akan segera digelar, kami kembali bersurat kepada Pj. Gubernur pada tanggal (28/11) kemarin,” ujarnya.
Yakub menambahkan bahwa pihaknya telah bertemu dan berdiskusi dengan Kadisnaker terkait disposisi Pj Gubernur sehubungan dengan surat kami pada September lalu.
Yang selanjutnya telah disampaikan nota dinas kepada Pj Gubernur perihal penerbitan Surat Keputusan Gubernur Banten tentang Penambahan anggota atas SK Gubernur No. 561/Kep.236-Huk/2022 tentang pembentukan Dewan Pengupahan Provinsi Banten.
“Namun kenyataannya, Pj. Gubernur telah menerbitkan SK UMP dan UMSP terlebih dahulu sebelum SK Dewan Pengupan Provinsi dengan komposisi yang seimbang/sama dengan unsur lainnya, sebagaimana regulasi permenaker 13 tahun 2021 tentang pembentukan Dewan Pengupahan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yakub menuturkan keputusan Pj Gubernur yang menaikan UMP sebesar 6,5% untuk tahun 2025 dianggap tidak populis dan kurang berpihak kepada dunia usaha di wilayah Banten.
Pasalnya, kenaikan tersebut sangat tidak relevan yang formulanya dipertanyakan?
“Adapun berdasarkan hitung angka kenaikan yang dilakukan oleh unsur pengusaha kisarannya tidak lebih dari 2.51%,” urainya.
Ia menilai, perhitungan tersebut bukan tanpa dasar, pasalnya dunia usaha telah merumuskan angka inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi dikali indeks tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi Banten.
“Formula tersebut adalah pengali yang bisa dipertanggung jawabkan dan adil untuk semua pihak, karena memang menggunakan indikator yang bisa diukur,” cetus Yakub.
“Kemudian kalau angkanya tiga kali lipat dari itu (6,5% red) lalu bagaimana dengan kemampuan dunia usaha, apakah ini tidak akan jadi bumerang terhadap tingkat pengangguran di Banten karena melemahnya kemampuan dunia usaha khususnya di sektor padat karya,” tandasnya.*