Selasa, 17 September 2024
Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Percepatan Implementasi Benih Bioteknologi, Kunci Resiliensi di Tengah Krisis Pangan

Admin

| Kamis, 1 Agustus 2024

| 16:30 WIB

Percepatan Implementasi Benih Bioteknologi, Kunci Resiliensi di Tengah Krisis Pangan (Foto : Rizky Wicaksono)

JAKARTA, EKBISBANTEN.COM 31 Juli 2024 – Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian melalui Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) bersama CropLife Indonesia (CLID) menggelar agenda ⁠⁠sarasehan “Pertanian Berkelanjutan dan Adopsi Teknologi Modern” (31/7) di Jakarta. Agenda ini merupakan bentuk kolaborasi strategis guna merespon ancaman krisis pangan global dan mengeksplorasi solusi bioteknologi di sektor pertanian.

Kebutuhan adanya kontribusi di bidang ilmu bioteknologi untuk mencegah risiko krisis pangan kian dibutuhkan. Pasalnya, menurut data BULOG, dampak serius dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan sudah semakin terasa, khususnya dari sisi penurunan produksi tanaman pangan. Sebagai contoh, produksi beras nasional dari Januari hingga April 2024 mengalami penurunan sebesar 17,74 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, dari 22,55 juta ton menjadi 18,55 juta ton.

Direktur Utama Badan Urusan Logistik (BULOG) Bayu Krisnamurthi menyatakan perlu ada intervensi untuk menjaga ketahanan pangan. “Praktik “business as usual” atau cara biasa akan membuat produksi beras justru menurun dan harga akan naik. Tanpa pemanfaatan teknologi, kami memproyeksikan di tahun 2050 jumlah produksi beras akan turun hingga 20 persen, namun harga akan naik hingga 20 persen,” jelasnya.

Peran penting bioteknologi sebagai solusi untuk ketahanan pangan nasional turut disampaikan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas/NFA). “Di samping menghadapi tantangan perubahan iklim, kami juga harus mengantisipasi pertumbuhan populasi dan alih fungsi lahan. Dengan populasi penduduk Indonesia yang diprediksi akan mencapai 324 juta jiwa pada tahun 2045, tentu harus dibarengi dengan kesiapan kita memproduksi bahan pangan yang lebih besar lagi. Salah satu solusi yang kami rasa tepat untuk adalah dengan pemanfaatan benih PRG di sektor pertanian Indonesia,” jelas Direktur Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan Bapanas Yusra Egayanti, SSi., Apt., MP.

BACA : Implementasi Misi Keberlanjutan, FIFGROUP Pasang Solar Panel Ke-22 di Palu

Asisten Deputi Prasarana dan Sarana Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Dr. Ir. Ismariny, M.Sc menyatakan, pihaknya mendorong lebih banyak sinergi peningkatan ketahanan pangan nasional dilakukan di berbagai lini. “Sebagai contoh, Kemenko Ekonomi sudah mulai menggagas banyak program seperti supply peningkatan produksi, diversifikasi pangan, efisiensi distribusi pangan, penggunaan teknologi untuk meningkatkan produksi dan kualitas pangan, hingga penguatan stok pangan nasional. Fokus kami adalah membuat program yang manfaatnya bisa dirasakan oleh petani dan masyarakat,” tuturnya. 

Sampai saat ini, Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) telah melakukan pelepasan pada sepuluh tanaman PRG yang terdiri dari delapan (8) jenis jagung PRG, satu (1) kentang PRG, dan satu (1) tebu PRG. Kepala PPVTPP Dr. Ir. Leli Nuryati, M.Sc. menyatakan, dalam melakukan pelepasan varietas tanaman PRG, pihaknya selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian yang sangat ketat. “Di lapangan, benih PRG nyatanya sangat dinantikan oleh petani kita. Pada dasarnya mereka sangat siap untuk mengelola varietas unggulan ini. Tugas kita adalah memastikan proses pelepasan yang sesuai aturan dan prosedur, serta meminimalisir produk palsu yang merugikan petani juga masyarakat,” ujarnya.

Meski kebutuhan akan bioteknologi terbukti cukup besar, pengembangan benih unggul di Indonesia bisa dibilang terlambat dibanding negara lain. Proses perizinan, pengembangan, hingga komersialisasi benih PRG di Indonesia rata-rata memakan waktu sekitar 15 tahun. Hal ini diungkap oleh Direktur Eksekutif CropLife Indonesia Agung Kurniawan. Menurutnya, sampai dengan tahun ini, baru ada 10 varietas benih bioteknologi yang mendapat persetujuan penggunaannya, dan itu pun masih dalam skala terbatas. “Regulasi yang ketat masih jadi kendala utama para peneliti di lapangan. Ditambah, ada kemungkinan ketika benih tersebut berhasil dikomersialisasi, tantangan yang dihadapi para petani sudah berubah. Padahal dari sisi petani, mereka sudah sangat antusias dan siap untuk mengadopsi teknologi ini secepatnya,” jelasnya.

BACA : Implementasi Benih Bioteknologi

Agung mencontohkan keberhasilan beberapa negara Asia, seperti Vietnam dan Filipina, yang telah mengadopsi bioteknologi dan mengalami peningkatan produksi pertanian hingga 30% “Pencapaian ini menunjukkan potensi besar bioteknologi dalam memperkuat ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Kami berharap sinergi antara berbagai pihak ini dapat mendorong pengembangan dan komersialisasi benih bioteknologi di pasar, sehingga para petani dapat merasakan dampak positif yang sama seperti di negara-negara lain,” tambah Agung.

Sejalan dengan pernyataan di atas, Biotechnology and Seed Manager CropLife Indonesia Agustine Christela Melviana menambahkan bahwa penerapan benih bioteknologi memungkinkan petani untuk meminimalisir potensi kehilangan hasil. “Benih bioteknologi dirancang untuk memiliki sifat unggul. Artinya, ketika ditanam, tanaman yang dihasilkan bisa lebih resisten terhadap hama, gulma, penyakit, ataupun kondisi lingkungan yang ekstrem. Dengan pemanfaatan benih bioteknologi ini, potensi kehilangan hasil pertanian bisa ditekan hingga 10%, yang berarti ada peningkatan produksi panen yang signifikan bagi petani di lahan terbatas,” jelasnya. 

Editor :Ismatullah

Bagikan Artikel

Terpopuler_______

Scroll to Top