EKBISBANTEN.COM – Fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) yang dikeluhkan seorang pemilik kafe di Yogyakarta sangat menarik untuk dicermati.
Di Kota Serang, setidaknya dalam setahun terakhir, fenomena ini juga terjadi di berbagai kafe.
Bahkan jika di Yogya pelaku rojali adalah mahasiswa, di sini kalangan orang dewasa seperti bapak-bapak dan ibu-ibu pun melakukan hal serupa.
Kalau dari pengamatan saya, di Kota Serang fenomena ini muncul justru gegara konsep yang diusung sejumlah pengelola kafe dan sedang ngetren yakni konsep— saya menyebutnya—Ratalu (Ramai Tamu Dulu)
Berbeda dengan konsep kafe konvensional, pada konsep Ratalu semua pengunjung boleh datang, duduk selama mungkin, bahkan bawa cemilan dari luar tanpa didekati untuk ditawari menu oleh pelayan kafe.
Setingan kafe konsep Ratalu ini juga senada. Parkiran luas, kafenya juga luas dan banyak ruang terbuka dengan tempat duduk yang tidak mementingkan aspek artistik.
Ciri lainnya terdapat banyak lampu (cahaya) supaya saat pepotoan maupun ngevlog tetap medsosable.
Sesuai julukannya, Rojali umumnya datang dalam satu kelompok lebih dari 4 orang. Di satu kafe, apalagi di weekend atau hari libur, bisa ditemukan 8-10 Rojali sekaligus atau sekitar 60-100 tamu bahkan lebih. Ini yang mengesankan kafe selalu ramai.
Secara psikologis, apalagi untuk kalangan anak muda gaul, ini mengundang banyak anak muda lainnya (pada praktiknya ternyata termasuk bapak-bapak & ibu-ibu gaul) untuk tertarik hang out di kafe Ratalu.
Secara psikologis pula dan memang ingin jajan, dalam tebakan saya, setidaknya setengah dari tamu yang berkunjung tetap melakukan transaksi alias memesan makanan dan minuman yang dijajakan kafe macam ini.
Artinya kafe Ratalu berani berspekulasi target omset tetap tercapai meski yang melakukan transaksi kurang dari 50 persen dari jumlah tamu.
Di sebuah kafe Ratalu di Kota Serang, bahkan pendapatan dari parkirnya sehari rata-rata di angka 400.000 dan jika sedang ramai di kisaran 700.000 rupiah.
Jika dibagi 2.000 rupiah biaya parkir, sedikitnya dalam sehari ada 200-350 kendaraan yang singgah bergantian ke kafe tersebut.
Satu kendaraan taruhlah membawa 2 orang saja sudah 400 s/d 700 orang berkunjung. Setengahnya saja memesan menu seharga 50.000 (standard harga untuk 1 menu makanan berat dan 1 minuman ringan), maka omset per harinya 10 juta hingga 17.500.000 rupiah.
Itu hitungan 50 persen bukan Rojali dengan transaksi paling minim ya. Singkat kata, konsep Ratalu ini menjanjikan juga sebagai pendulang cuan, bukan?
Masalahnya, kebiasaan Rojali ini sering dijejalkan ke kafe-kafe dengan konsep konvensional, seperti yang dikeluhkan pemilik kafe di Yogyakarta.
Para Rojali dengan seenaknya berkeliling singgah dari kafe ke kafe. Dari 10 orang, cukup 3-4 orang yang memesan kopi. Selebihnya ikut hangout sembari wifi-an.
Di sini lah kerap terjadi “benturan” antara Rojali dengan pegawai kafe. Kalau untuk kafe yang saya kelola, Kafe Mang Jaseng, Rojali tak akan berlaku.
Begitu duduk, SOP para pegawai kami langsung menawarkan menu. Taktik masih menunggu teman juga tak akan berlaku karena dalam hitungan 5 menit, kami lagi-lagi sudah menawarkan menu.
Pokoknya, Rojali di KMJ tak akan betah. Lah, kapasitas KMJ hanya 40 orang. Kalo ada 20 Rojali saja, sudah bikin males tamu sungguhan untuk datang ituuuuh.
Lalu akankah kafe konvensional tergerus oleh kafe Ratalu? Dalam konteks ini, konsep berbisnis paling kuno sekalipun yakni menunya enak-enak, kafenya bersih, pelayanannya bagus, harga tepat, dll, saya kira tetap akan berlaku.
Kafe seperti itu akan tetap bertahan dengan pelanggan-pelanggan setianya.
Penulis adalah kartunis dan jurnalis, pengelola kafe.