PANDEGLANG, EKBISBANTEN.COM – Mantan Dekan Fakultas Hukum dan Sosial (FHS), Rizal Rohmatullah menggugat Rektor Universitas Mathla’ul Anwar (Unma) Banten ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banten.
Gugatan tersebut dilayangkan yang bersangkutan lantaran merasa difitnah dan tak menerima diberhentikan tidak hormat sebagai dekan di kampus tersebut tanpa ada proses pembelaan diri baik dalam sidang senat maupun aturan lainnya yang sesuai dengan statuta Unma.
“Setelah habis saya difitnah, karakter saya dibunuh lewat narasi di media sosial, puncaknya saya diberhentikan dengan tidak hormat sebagai dekan, pelaporan ke PTUN pada akhirnya menjadi salah satu cara untuk saya mencari keadilan,” kata Rizal, Sabtu (11/05/2024).
Salah satu kuasa hukum Dekan FHS, Syaifullah membenarkan bahwa Tim Pembela mantan Dekan FHS, Rizal Rohmatulloh sudah menyiapkan sejumlah gugatan berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dalam surat pemberhentian tersebut.
Selain itu, Ia juga menilai bahwa pernyataan Rektor Unma, Prof HE Syibli Syarjaya dan ketua IKA Alumni Unma, Bachtiar Rifa’i di sejumlah media daring menyesatkan publik karena hanya berdasarkan keyakinan pribadi bukan karena fakta-fakta hukum yang terjadi.
“Untuk lebih konkretnya maka silahkan kawan-kawan yang ditunjuk sebagai pengacara hukum Unma Banten membeberkan bukti-bukti di meja persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara,” paparnya.
Senada diungkapkan Kuasa Hukum lainnya, Misbakhul Munir. Alumni Prodi Hukum Unma tersebut meminta agar orang-orang yang tidak mempunyai kapasitas dalam permasalahan ini sebaiknya diam karena persoalan kliennya bukan wilayah orang yang hanya mengeluarkan pernyataan di media tanpa melihat fakta hukum.
“Yang menjadi pertanyaan apakah SK pemberhentian tersebut telah memenuhi unsur tersebut? Apakah bukti buktinya juga telah cukup? Apakah telah dilakukan permintaan keterangan terhadap dekan bersangkutan? Ini perlu dikaji kembali, apakah SK tersebut cacat secara adminstrasi atau tidak,” paparnya.
SK pemberhentian tidak hormat Dekan FHS tanpa didasarkan fakta hukum yang jelas, kata Munir, akan menyesatkan. Hal itu tercermin dari tidak adanya undangan klarifikasi sebelumnya, tidak ada pemeriksaan dekan terperiksa, tidak adanya surat peringatan I, II dan seterusnya hingga tidak adanya rapat senat dan lain sebagainya.
“Fakta-fakta tersebut yang menyebabkan kegaduhan seperti sekarang ini. Jangan sampai malah menyesatkan publik. Para pihak yang tidak memahami semua itu lebih baik diam dikarenakan akan menjadikan sebuah keterangan yang menyesatkan dan membingungkan publik serta berisiko menimbulkan tuntutan hukum terhadap yang bersangkutan,” ujarnya.