Sabtu, 23 November 2024
Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Dedi Kusnadi: PPh Pasal 21 TER untuk Dokter

Dedi Kusnadi

| Senin, 19 Februari 2024

| 12:00 WIB

Dedi kusnadi
Dedi Kusnadi. (FOTO: DOK. PRIBADI).

EKBISBANTEN.COM – Sistem pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 model baru akan sangat berdampak pada penghasilan dokter. Cara ini akan mengakibatkan jumlah pemotongan pajak jauh lebih rendah dari sebelumnya.

Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2024 yang terbit pada 29 Desember 2023 dan berlaku mulai 1 Januari 2024.

Perubahan utama dalam aturan ini terkait dengan pengaturan kembali tarif pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi.

Tarif pajak yang berlaku masih berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh, namun terdapat pengaturan baru berupa tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 atau lebih dikenal dengan sebutan Tarif Efektif Rata-rata (TER).

Penyesuaian tarif pemotongan tersebut merupakan tindak lanjut dari perubahan pengaturan dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 atau UU HPP.

Juga untuk memberi kemudahan dan kesederhanaan bagi WP dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Pengaturan ini juga berlaku untuk pemotongan penghasilan para pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota tentara nasional Indonesia, anggota kepolisian negara Republik Indonesia, serta pensiunannya.

Ketentuan Lama

Sebelumnya, tata cara pemotongan penghasilan dokter merujuk pada PMK-252/PMK.03/2008 yang terbit pada 31 Desember 2008, serta pedoman teknis yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-16/PJ/2016.

Sesuai ketentuan Pasal 3 dalam peraturan tersebut, dokter dapat dikelompokkan dalam 2 status kepegawaian. Pertama, dokter sebagai pegawai yang menerima penghasilan secara tetap. Kedua, dokter sebagai bukan pegawai yang menerima penghasilan sebagai tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.

Imbalan yang diterima dapat berupa gaji, tunjangan, honoraraium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan.

Jika dokter tersebut menerima penghasilan secara berkesinambungan, maka dasar pengenaan adalah penghasilan kena pajak, yakni 50 persen dari penghasilan bruto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) per bulan.

Pengurangan PTKP hanya bisa dimanfaatkan jika yang bersangkutan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan hanya bekerja dan menerima penghasilan dari satu pemberi kerja saja.

Sedangkan jika penghasilannya temporer, maka penghitungan pajaknya sebesar 50 persen dari penghasilan bruto, tanpa pengurangan PTKP.

Namun jika dalam memberikan jasa, dia mempekerjakan orang lain sebagai pegawai, maka besarnya penghasilan bruto dikurangi bagian gaji atau upah dari pegawainya.

Demikian juga jika ada penyerahan barang atau material, maka penghasilan brutonya dikurangi dulu dengan harga barang atau material tersebut.

Dalam hal penghasilan bruto dibayarkan ke dokter yang melakukan praktik di rumah sakit atau klinik, maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien, sebelum dikurangi biaya-biaya atau bagi hasil.

PPh Pasal 21 yang dipotong adalah sesuai tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-undang PPh. Tarif ini menjadi 20 persen lebih tinggi jika yang bersangkutan belum memiliki NPWP.

Di akhir tahun, dokter harus menghitung kembali besarnya pajak yang terutang, melampirkan Bukti Potong dari pemberi kerja, dan menyampaikan laporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan ke kantor pajak.

Sebagai contoh, dr. R (menikah dan mempunyai 3 anak kandung) merupakan dokter spesialis yang bekerja sebagai pegawai tetap di Rumah Sakit ABC dengan gaji Rp20 juta dan membayar iuran pensiun sebesar Rp200 ribu setiap bulan.

Ia juga menerima jasa medis yang dibayar pasien sebesar Rp30 juta per bulan, dengan perjanjian bahwa atas setiap jasa medis akan dipotong 20 persen sebagai penghasilan Rumah Sakit ABC.

Pada masa Januari, besarnya pajak yang terutang atas penghasilan sebagai pegawai tetap, dihitung dari penghasilan neto yang disetahunkan dikurangi PTKP, kemudian dikali tarif sesuai Pasal 17 ayat (1). Selanjutnya jumlah pajak setahun dibagi 12, sehingga diperoleh nilai pajak yang harus dipotong pada masa tersebut sebesar Rp1.495.000.

Secara keseluruhan, jumlah pajak yang harus dipotong atas penghasilan tetap dr. R adalah sebesar Rp17.940.000.

Untuk PPh Pasal 21 atas penghasilan jasa medis pada masa Januari sampai April adalah 50 persen dikali Rp30 juta dikali 5 persen (tarif Pasal 17 lapisan pertama) sama dengan Rp750 ribu.

Sedangkan pada masa Mei, akumulasi penghasilan netonya telah melebihi batas lapisan tarif pertama yakni Rp60 juta, maka selisihnya dikalikan tarif lapis kedua sebesar 15 persen. Sehingga besarnya pajak yang dipotong menjadi Rp2.250.000.

Jumlah pajak yang dipotong atas penghasilan jasa medis setahun adalah sebesar Rp21 juta.

Ketentuan Baru

Pada ketentuan baru sesuai PMK Nomor 168 Tahun 2024, tarif efektif untuk pegawai tetap dengan status PTKP K/3 masuk dalam skema tarif pada tabel TER C.

Jika penghasilan bruto sebulan Rp20 juta, maka tarif efektif yang digunakan masuk dalam rentang penghasilan antara Rp19.500.001 s.d. Rp22.700.000 yaitu 8 persen.

Sehingga untuk masa Januari-November, jumlah pajak yang dipotong per bulan sebesar Rp1.600.000

Sedangkan untuk masa Desember, jumlah pajak yang dipotong adalah pajak setahun dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong yakni sebesar Rp17.940.000 – (Rp1.600.000 x 11 bulan) sama dengan Rp340.000.

Dengan demikian, penghitungan pajak setahun untuk pegawai tetap, baik dengan cara lama maupun baru, jumlahnya akan sama.

Lain halnya dengan penghitungan pajak atas penghasilan jasa medis. Skema yang digunakan menggunakan tarif Pasal 17 ayat (a) dikali 50 persen dikali penghasilan bruto sebulan, tanpa diakumulasikan dengan penghasilan sebelumnya.

Sehingga penghitungan pemotongan pajak dr. R adalah 50 persen dikali Rp30 juta dikali 5 persen sama dengan Rp750.000, sama besarnya untuk masa Januari sampai dengan Desember.

Secara keseluruhan, jumlah pajak yang dipotong sesuai ketentuan ini hanya sebesar Rp9 juta setahun.

Sekalipun nampak lebih kecil jumlah pemotongan pajaknya, namun dr. R wajib menghitung kembali kewajibannya pada akhir tahun dan melaporkan dalam SPT Tahunan yang bersangkutan.

Jumlah pajak yang telah dipotong oleh pemberi kerja menjadi kredit pajak yang dapat diperhitungkan kembali oleh dr. R. Sehingga secara keseluruhan, kewajiban pajak setahunnya akan sama, baik menggunakan aturan lama maupun tarif baru.

Aturan ini tidak membedakan apakah yang bersangkutan menerima penghasilan berkesinambungan atau tidak, memiliki NPWP atau tidak, menggunakan bahan atau tidak, maupun mempekerjakan orang lain atau tidak.

Prinsip kesederhanaan dalam penghitungan pajak, menjadi muatan utama dari aturan ini. Sehingga akan memudahkan, baik bagi pemberi kerja dalam menghitung pajak yang harus dipotong, maupun bagi penerima penghasilan dalam rangka menghitung ulang kewajiban pajaknya.*


*Penulis adalah Pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.

Editor :Esih Yuliasari

Bagikan Artikel

Terpopuler_______

Scroll to Top