EKBISBANTEN.COM – Perkembangan teknologi yang begitu pesat dalam dua dekade terakhir telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dunia pendidikan.
Digitalisasi pembelajaran membawa perubahan signifikan terhadap cara guru mengajar, cara peserta didik belajar, serta cara institusi pendidikan merancang pengalaman belajar.
Di tengah transformasi tersebut, relevansi teori-teori pembelajaran klasik kembali dipertanyakan, terutama teori behaviorisme yang pada masanya menjadi paradigma dominan dalam dunia pendidikan.
Teori ini menekankan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku yang dapat diamati, yang terjadi akibat hubungan antara stimulus dan respons.
Namun, seiring perkembangan pembelajaran berbasis teknologi, banyak kalangan menilai bahwa pendekatan ini mulai kehilangan daya jelajahnya dalam menjawab tantangan pembelajaran modern.
Keterbatasan behaviorisme semakin terasa ketika pembelajaran memerlukan kreativitas, kolaborasi, pemikiran kritis, dan kemampuan pemecahan masalah yang kompleks—unsur yang tidak seluruhnya tertangkap dalam kerangka stimulus–respons.
Secara historis, behaviorisme muncul pada awal abad ke-20 sebagai reaksi terhadap pendekatan psikologi introspektif yang dianggap terlalu subjektif.
Tokoh-tokoh seperti John B. Watson dan B. F. Skinner mengembangkan teori ini dengan fokus pada perilaku yang dapat diukur dan diuji secara ilmiah. Behaviorisme memberikan kontribusi besar dalam merancang pembelajaran terstruktur, repetitif, dan berorientasi hasil.
Dalam konteks pendidikan tradisional, teori ini sangat berguna untuk pembelajaran dasar, pembentukan kebiasaan, atau latihan prosedural.
Metode seperti drill and practice, pemberian reward, maupun hukuman menjadi teknik yang banyak digunakan untuk meningkatkan penguasaan materi.
Meski demikian, konteks pembelajaran era digital jelas berbeda dari situasi ketika teori ini berkembang. Pendidikan modern membutuhkan pendekatan holistik yang tidak hanya melihat hasil belajar, tetapi juga proses berpikir internal peserta didik.
Salah satu kritik terbesar terhadap behaviorisme adalah pandangannya yang menyederhanakan proses belajar sebagai hubungan linear antara rangsangan dan respons. Teori ini mengabaikan faktor internal seperti persepsi, pengetahuan awal, motivasi intrinsik, dan strategi kognitif.
Dalam pembelajaran digital yang sangat interaktif, peserta didik tidak lagi menjadi objek pasif yang hanya merespons instruksi guru atau sistem.
Mereka justru dituntut menjadi subjek aktif yang mengonstruksi makna melalui eksplorasi berbagai sumber digital, mulai dari video interaktif, simulasi, e-book, hingga kelas daring yang berbasis diskusi.
Platform digital memberikan ruang bagi peserta didik untuk melakukan inquiry, mengembangkan kreativitas, dan mengambil keputusan secara mandiri. Pola belajar seperti ini tidak dapat dijelaskan dengan teori behaviorisme yang hanya memfokuskan pada perilaku yang tampak.
Lebih jauh, teknologi digital telah melahirkan model pembelajaran baru yang menekankan pada pemikiran tingkat tinggi, seperti pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), serta pembelajaran kolaboratif daring.
Model-model ini mengedepankan kerja sama, komunikasi, kreativitas, dan pemecahan masalah. Behaviorisme yang menekankan latihan berulang tidak mampu mengakomodasi keterampilan abad 21 tersebut secara memadai.
Dalam pembelajaran digital, kemampuan peserta didik untuk menafsirkan informasi, membangun argumen, melakukan analisis data, dan memecahkan tantangan berbasis simulasi memiliki nilai yang jauh lebih penting dibandingkan sekadar menghafal atau menunjukkan respons yang benar.
Keterbatasan lainnya terletak pada cara behaviorisme memandang motivasi belajar.
Teori ini lebih menekankan penggunaan motivasi ekstrinsik, seperti pemberian hadiah atau hukuman, untuk mengubah perilaku peserta didik. Dalam pembelajaran digital yang bersifat fleksibel dan personal, motivasi intrinsik justru menjadi kunci keberhasilan.
Peserta didik perlu merasa tertarik, memiliki rasa ingin tahu, dan memahami tujuan pembelajaran agar dapat belajar secara mandiri melalui platform digital.
Penggunaan gamifikasi, misalnya, bukan sekadar memberikan reward, tetapi juga menstimulasi tantangan, pencapaian, dan makna personal. Pendekatan behavioris tidak memberikan ruang yang cukup bagi aspek-aspek motivasional yang lebih mendalam tersebut.
Selain itu, era digital menuntut peserta didik memiliki self-regulated learning atau kemampuan mengatur belajar secara mandiri. Mereka harus mampu merencanakan strategi belajar, memantau kemajuan, dan mengevaluasi hasil secara reflektif.
Kemampuan ini sangat penting dalam pembelajaran daring yang tidak selalu diawasi langsung oleh guru. Behaviorisme tidak memberikan penjelasan memadai mengenai proses-proses metakognitif seperti ini.
Teori ini mengasumsikan bahwa perubahan perilaku terjadi karena hubungan antara stimulus dan respons, bukan karena kesadaran individu terhadap proses belajar mereka sendiri.
Pembelajaran digital juga sangat kaya akan lingkungan belajar yang bersifat terbuka, tidak linear, dan terhubung secara luas. Konektivisme—teori pembelajaran yang muncul di era digital—menjelaskan bahwa belajar bukan hanya proses internal, melainkan juga proses terhubung dengan jaringan pengetahuan digital.
Peserta didik dapat berinteraksi dengan informasi, alat, sistem, komunitas daring, dan kecerdasan buatan. Behaviorisme, yang berakar pada interaksi sederhana antara individu dan lingkungan langsung, tidak mampu menjelaskan dinamika belajar yang sangat kompleks dan bersifat jaringan ini.
Di sisi lain, pembelajaran digital berperan besar dalam membentuk budaya literasi digital. Peserta didik harus mampu memilah informasi, memahami etika digital, mengelola jejak digital, serta berkomunikasi dengan penuh tanggung jawab.
Kemampuan literasi digital membutuhkan penalaran kritis dan kesadaran moral, bukan sekadar respon terhadap stimulus. Behaviorisme tidak memiliki konsep mengenai literasi digital, apalagi kemampuan etis dan kritis dalam bermedia.
Dengan demikian, teori ini tidak dapat dijadikan landasan tunggal untuk menghadapi tantangan pembelajaran era digital.
Meski demikian, bukan berarti behaviorisme sepenuhnya tidak berguna dalam konteks digital. Pada beberapa aspek, teori ini tetap relevan, terutama untuk materi yang membutuhkan penguasaan prosedural, pembentukan kebiasaan dasar, serta pelatihan berulang.
Banyak aplikasi pembelajaran, seperti kuis digital, aplikasi hafalan, dan platform latihan berbasis komputer, masih menggunakan prinsip-prinsip behaviorisme. Sistem adaptive learning bahkan menggunakan mekanisme reinforcement untuk meningkatkan akurasi respons peserta didik.
Namun demikian, penggunaan behaviorisme harus ditempatkan secara proporsional dan tidak menjadi satu-satunya pendekatan dalam merancang pembelajaran.
Agar pembelajaran digital benar-benar mampu menciptakan peserta didik yang kreatif, kritis, dan adaptif, pendidik perlu memadukan berbagai teori pembelajaran. Kognitivisme memberikan kerangka untuk memahami proses mental peserta didik.
Konstruktivisme membantu merancang pembelajaran berbasis pengalaman. Sementara konektivisme menjelaskan bagaimana teknologi menjadi bagian integral dari proses belajar. Integrasi berbagai teori ini jauh lebih efektif dibandingkan hanya mengandalkan behaviorisme yang cenderung mekanistik.
Dengan sinergi berbagai pendekatan, pembelajaran digital dapat dirancang lebih holistik, kontekstual, dan responsif terhadap perkembangan teknologi.
Pada akhirnya, keterbatasan teori behaviorisme di tengah pembelajaran era digital menunjukkan bahwa pendidikan tidak dapat bergantung pada satu teori saja.
Digitalisasi bukan sekadar perubahan media, melainkan perubahan paradigma dalam memahami proses belajar. Peserta didik era digital membutuhkan ruang belajar yang lebih luas, kolaboratif, dan kreatif.
Mereka tidak lagi cukup dengan pembelajaran yang menekankan hafalan dan pengulangan. Pendidikan masa kini harus menyiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan yang kompleks, tidak terduga, dan terus berubah.
Oleh karena itu, pembelajaran digital membutuhkan teori-teori yang mampu menjelaskan dinamika pengetahuan, proses mental, interaksi sosial, serta hubungan manusia dengan teknologi.
Dengan memahami keterbatasan behaviorisme, pendidik dapat lebih bijak dalam menentukan pendekatan pembelajaran yang sesuai.
Behaviorisme tetap dapat digunakan pada konteks tertentu, namun tidak lagi dapat menjadi fondasi tunggal bagi pembelajaran modern.
Pembelajaran era digital memerlukan pendekatan yang lebih adaptif, humanistik, dan berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Melalui pemahaman yang komprehensif tentang berbagai teori pembelajaran, pendidikan dapat bergerak maju untuk membentuk generasi yang cerdas digital, kreatif, dan siap bersaing di era global.***
*Penulis merupakan mahasiswa S3 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).







