Tuti Sugiarti: Pendidikan untuk Kehidupan, Manifestasi Pendidikan Humanisme di Sekolah Rakyat

- Kamis, 4 Desember 2025

| 18:34 WIB

Tuti
(FOTO: DOK. PRIBADI).

Kondisi Pendidikan dan Relevansi Humanisme

Sebagai akademisi yang mengikuti perkembangan pendidikan Indonesia selama dua dekade terakhir, saya melihat bahwa wajah pendidikan kita bergerak dalam dua arah yang berlawanan.

Di satu sisi, kebijakan pemerintah terus mendorong modernisasi kurikulum, digitalisasi, dan peningkatan kualitas asesmen nasional. Sekolah berlomba menampilkan pencapaian akademik sebagai indikator keberhasilan.

Namun di sisi lain, di ruang kelas yang tidak terpublikasi, banyak anak kehilangan makna dalam belajar. Mereka hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat secara psikologis dan emosional.

Pendidikan sering kali menjadi seperangkat tuntutan administratif, bukan proses pertumbuhan kemanusiaan.

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2024) menunjukkan bahwa 31% siswa sekolah dasar mengalami kehilangan minat belajar, terutama akibat tekanan akademik dan minimnya pengalaman belajar bermakna.

Sementara itu, survei UNICEF (2023) mengungkap bahwa 40% anak Indonesia merasa sekolah tidak memberi ruang bagi pendapat mereka.

Fenomena ini memperkuat argumen bahwa lembaga pendidikan alternatif yang lebih humanis diperlukan untuk memulihkan kesejahteraan psikologis peserta didik.

Persoalan mendasarnya bukan terletak pada kurikulum, metode, atau teknologi, melainkan pada cara kita memaknai manusia itu sendiri.

Banyak wacana pendidikan modern bergerak pada ranah teknis, bagaimana mengukur capaian, bagaimana mempercepat belajar, bagaimana menghasilkan lulusan yang “kompetitif.”

Namun saya percaya bahwa pendidikan tidak pernah dimaksudkan sekadar untuk melahirkan manusia yang dapat bekerja, melainkan untuk membentuk manusia yang dapat hidup.

Pemikiran Rabindranath Tagore memberi pijakan penting dalam melihat hal ini. Tagore adalah seorang penyair, filsuf, pendidik, dan peraih Nobel asal India yang karyanya banyak menginspirasi gerakan pendidikan alternatif di seluruh dunia.

Baginya, pendidikan adalah proses sosial yang selalu bergerak mengikuti denyut kehidupan masyarakat. Sekolah bukan ruang terpisah, melainkan cerminan dari dunia sosial yang lebih luas sebuah miniatur masyarakat.

Jika kehidupan masyarakat berubah, maka pendidikan pun harus bertransformasi. Bagi Tagore, pembelajaran tidak akan hidup jika ia dipisahkan dari relasi manusia, dari kasih, dari pengalaman berbagi dan saling menumbuhkan.

Saya merasakan relevansi gagasan itu semakin kuat ketika melihat fenomena pendidikan hari ini: anak-anak belajar dalam sistem yang sangat terstruktur, tetapi sering kehilangan pengalaman kemanusiaan yang esensial.

Pemikiran Ki Hajar Dewantara menambah kedalaman refleksi tersebut. Ki Hajar menekankan bahwa inti pendidikan terletak pada adab sikap, budi pekerti, dan kesusilaan yang membentuk pribadi manusia dalam menjalani kehidupan.

Adab bukan sekadar pengetahuan moral yang diajarkan sebagai teori, melainkan nilai yang harus dihayati hingga menjadi laku hidup.

Ketika Ki Hajar berbicara tentang pengajaran adab, beliau sedang bicara tentang hubungan manusia dengan dirinya dan dengan masyarakatnya: bagaimana seseorang memahami hak dan kewajibannya, bagaimana menjaga martabat dirinya tanpa merendahkan martabat orang lain, dan bagaimana menempatkan diri sebagai bagian dari kehidupan bersama.

Di sinilah kita melihat titik temu penting antara Tagore dan Ki Hajar: keduanya menolak pendidikan yang terpisah dari kehidupan.

Tagore menekankan pendidikan sebagai proses sosial yang penuh kasih, sedangkan Ki Hajar menekankan adab sebagai fondasi pembentukan manusia.

Keduanya seakan sepakat bahwa pendidikan harus melampaui ruang kelas dan memasuki ruang kemanusiaan yang lebih luas. Di sinilah urgensi pendidikan humanistik menjadi nyata.

Kesenjangan antara Teori Humanisme dan Realitas Pendidikan

Pemikiran humanistik Rabindranath Tagore dan Ki Hajar Dewantara tidak berdiri sendiri. Keduanya justru menjadi bagian dari arus besar pemikiran pendidikan dunia yang menempatkan manusia sebagai pusat, bukan sistem.

Nilai-nilai yang mereka tanamkan kebebasan, dialog, kepekaan sosial, penghormatan terhadap martabat anak menemukan gema dalam berbagai filsafat pendidikan modern.

Gema ini bukan kebetulan, melainkan penegasan bahwa persoalan pendidikan manusia adalah persoalan universal. Jean-Jacques Rousseau adalah salah satu suara yang paling awal menyerukan bahwa anak bukan kertas kosong.

Dalam Émile, ia menegaskan bahwa setiap anak lahir dengan potensi alami yang harus dijaga dari belenggu paksaan.

Pendidikan tidak boleh merusak kodrat bawaan itu. Gagasannya menentang pendidikan yang menundukkan anak pada aturan mekanis dan hukuman tanpa dialog.

Kritik Rousseau sangat dekat dengan pandangan Tagore yang menolak kurikulum kaku yang mematikan kreativitas dan kemerdekaan batin anak.

Ia juga menggema dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara yang percaya bahwa anak harus dituntun sesuai kodrat alam dan zamannya, bukan dipaksa mengikuti kehendak orang dewasa semata.

John Dewey, tokoh pragmatisme Amerika, memperkuat arus humanisme ini. Baginya, pendidikan bukan persiapan untuk hidup, melainkan life itself hidup itu sendiri.

Belajar tidak boleh dicabut dari pengalaman konkret. Anak harus berjumpa dengan realitas, memecahkan masalah nyata, dan berinteraksi dengan masyarakatnya. Namun di banyak ruang kelas modern, pengalaman itu hilang.

Anak sibuk mengejar skor, berkompetisi dalam angka, dan menyelesaikan tugas administratif yang tidak selalu bermakna. Dewey mengingatkan bahwa ketika pendidikan kehilangan hubungan dengan kehidupan, ia kehilangan jiwanya.

Teguran halus ini sejalan dengan keresahan Tagore dan Ki Hajar terhadap pendidikan yang lebih sibuk membentuk pekerja daripada membentuk manusia.

Maria Montessori menambahkan dimensi lain dalam resonansi humanisme ini. Ia percaya bahwa anak akan belajar secara optimal bila diberi kebebasan dalam lingkungan yang terstruktur secara humanis.

Prinsip follow the child (mengikuti ritme pertumbuhan anak) merupakan kritik terhadap pendidikan yang memaksa anak menyesuaikan diri dengan ritme administrasi.

Dalam banyak sekolah, bel berbunyi menentukan kapan anak harus berhenti berimajinasi, kapan harus duduk diam, kapan harus menghapal.

Padahal, ritme biologis, psikologis, dan emosional anak tidak dapat dipadatkan dalam jadwal kaku. Di sini, Montessori bersuara sejalan dengan Tagore yang menjadikan alam sebagai ruang belajar alami, dan Ki Hajar yang menolak sekolah sebagai penjara intelektual.

Martin Buber memberi sentuhan filosofis yang lebih intim. Melalui konsep relasi “Aku, Engkau,” Buber menegaskan bahwa pendidikan sejati hanya dapat terjadi melalui hubungan penuh kehadiran hubungan yang memandang anak sebagai subjek, bukan objek.

Di banyak sekolah formal, relasi itu berubah menjadi “Aku–Itu”: anak diperlakukan sebagai data, target capaian, atau objek evaluasi. Padahal pendidikan adalah perjumpaan antarmanusia.

Pandangan Buber ini selaras dengan Tagore yang membangun sekolah berbasis kebersamaan dan dialog, serta Ki Hajar yang menempatkan ing ngarso sung tulodo sebagai prinsip relasi moral antara pendidik dan peserta didik.

Paulo Freire memperluas resonansi humanisme itu menjadi kritik sosial yang lebih tajam. Dalam Pedagogy of the Oppressed, ia menentang apa yang ia sebut sebagai pendidikan “gaya bank,” di mana siswa diperlakukan sebagai wadah kosong untuk diisi.

Model ini membunuh kesadaran kritis, membiakkan kepatuhan pasif, dan mengurangi manusia menjadi objek yang dibentuk oleh kekuasaan.

Freire menginginkan pendidikan yang membebaskan, yang menumbuhkan keberanian untuk bertanya, mempertanyakan ketidakadilan, dan terlibat aktif dalam perubahan sosial.

Semangat ini sangat dekat dengan humanisme Tagore yang memperjuangkan kebebasan batin dan dengan Ki Hajar yang menekankan kemerdekaan sebagai inti pendidikan nasional.

Jika ditelusuri, benang merah dari semua pemikir ini sangat jelas: pendidikan yang berpusat pada manusia, bukan sistem; pada pengalaman, bukan hafalan; pada dialog, bukan instruksi satu arah; pada kemerdekaan, bukan kepatuhan membuta.

Pemikiran Tagore dan Ki Hajar tidak hanya relevan dalam konteks Asia atau Indonesia, tetapi menjadi bagian dari percakapan global tentang bagaimana memanusiakan proses belajar.

Ironisnya, justru ketika gagasan-gagasan besar ini semakin kuat, banyak institusi pendidikan modern bergerak ke arah sebaliknya.

Sekolah menjadi ruang administrasi, bukan ruang kehidupan. Anak menjadi objek kurikulum, bukan pengemban masa depan. Guru menjadi pelaksana teknis, bukan pembimbing moral.

Di sinilah letak urgensi untuk menghadirkan kembali humanisme pendidikan dalam bentuk yang nyata, bukan sekadar teori.

Pemikiran Rousseau, Dewey, Montessori, Buber, Freire, Tagore, dan Ki Hajar adalah penegasan bahwa pendidikan sejati selalu bertolak dari kemuliaan manusia.

Mereka mungkin lahir dalam konteks yang berbeda, tetapi suara mereka berpadu: pendidikan harus menghidupkan potensi, merawat kebebasan, membangun dialog, dan menumbuhkan kesadaran.

Pendidikan harus menyentuh hati sebelum menyentuh kepala. Pendidikan harus membentuk manusia sebelum membentuk pekerja.

Resonansi pemikiran inilah yang menjadi dasar bagi gagasan pendidikan humanistik masa kini termasuk gerakan Sekolah Rakyat yang ingin mengembalikan pendidikan kepada hakikatnya.

Karena sesungguhnya, selama manusia masih belajar, selama itulah humanisme menjadi jantung pendidikan. Dengan demikian, kesenjangan antara teori humanisme dan praktik pendidikan kita bukanlah semata-mata persoalan kurikulum atau kebijakan, tetapi lebih dalam: persoalan paradigma.

Humanisme memandang pendidikan sebagai proses memanusiakan, sedangkan praktik kita masih sering memandang pendidikan sebagai proses mengontrol dan menstandarkan.

Jalan Keluar melalui Sekolah Rakyat sebagai Manifestasi Humanisme

Di tengah berbagai kesenjangan antara teori humanisme dan praktik pendidikan formal, muncul kebutuhan mendesak untuk menghadirkan ruang belajar alternatif yang benar-benar berpihak pada anak dan kehidupan mereka.

Di sinilah Sekolah Rakyat menampilkan dirinya bukan sekadar sebagai institusi pendidikan formal, tetapi sebagai gerakan kultural yang membawa kembali roh humanisme ke dalam praktik pendidikan.

Sekolah Rakyat memberikan ruang bagi anak untuk belajar sesuai ritme manusia, bukan ritme administratif.

Secara filosofis, Sekolah Rakyat mewarisi garis pemikiran Ki Hajar Dewantara, yang sejak awal mendirikan Taman Siswa sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikan kolonial yang menindas kemanusiaan.

Prinsip among ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, menjadi inti bahwa guru bukan penguasa kelas, tetapi pendamping pertumbuhan.

Anak dipandang sebagai pribadi merdeka yang memiliki hak untuk tumbuh menurut kodratnya.

Semangat ini selaras dengan pemikiran Rabindranath Tagore, yang juga mendirikan Shantiniketan sebagai model pendidikan yang memadukan kebebasan, kreativitas, dan interaksi dengan alam.

Kedua tokoh ini sepakat bahwa sekolah harus menjadi ruang yang memerdekakan, bukan mengekang. Sekolah Rakyat hadir bukan sebagai slogan atau estetika romantik pendidikan alternatif.

Ia hadir sebagai praktik nyata dari humanism sebuah ruang yang berusaha memulihkan kembali martabat belajar sebagaimana dibayangkan Tagore, Ki Hajar Dewantara, Rousseau, Dewey, dan para pemikir humanistik lainnya.

Di tengah dunia pendidikan formal yang semakin sarat prosedur, target, dan administrasi, Sekolah Rakyat memutuskan untuk berjalan di jalur lain: jalur yang mengutamakan kehidupan, relasi, dan kemanusiaan.

Nilai penting lain yang menjadi nafas Sekolah Rakyat adalah empati dan solidaritas. Anak-anak dilatih bukan hanya untuk bisa, tetapi untuk peduli.

Mereka belajar berbagi makanan, merawat tumbuhan, membantu teman yang kesulitan membaca, atau turun membantu kegiatan gotong royong di sekolah.

Nilai-nilai ini sebenarnya merupakan inti dari pendidikan, tetapi sering tenggelam di sekolah formal yang terlalu fokus pada skor, ranking, dan kompetisi.

Sekolah Rakyat mengembalikan nilai gotong royong sebagai fondasi moral yang tidak tergantikan dalam perkembangan anak.

Kebebasan berkreasi diperlakukan sebagai hak, bukan hadiah. Seni, permainan tradisional, kerajinan, musik lokal, hingga eksperimen sains sederhana dilakukan tanpa batasan kaku.

Anak boleh menciptakan lagu, menari, membuat alat musik dari bambu, menggambar isi mimpi mereka, atau merakit sesuatu dari barang bekas.

Kreativitas bukan lagi aktivitas pinggiran, tetapi menjadi inti pembentukan karakter. Cara ini mengingatkan pada gagasan Montessori tentang kebebasan terarah, sekaligus mencerminkan semangat Ki Hajar bahwa pendidikan harus menuntun, bukan memaksa.

Selain itu, Sekolah Rakyat Terintegrasi  36 menerapkan Talent mapping siswa melalui DNA Talent, sebuah pendekatan yang berfokus pada pemetaan kekuatan dan bakat alami setiap anak.

Bukan lagi semua murid dipaksa menempuh jalur akademik yang sama, tetapi mereka diberi ruang untuk berkembang sesuai kecenderungannya baik di bidang seni, bahasa, sains, kepemimpinan, keterampilan teknis, atau kecerdasan interpersonal.

Pendekatan ini mengoreksi sistem pendidikan arus utama yang cenderung menyeragamkan dan mengabaikan perbedaan potensi individu.

Jika melihat lebih jauh, DNA Talent sangat dekat dengan falsafah Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar menekankan bahwa pendidikan adalah proses menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

“Menuntun kodrat” adalah konsep inti yang sejalan dengan DNA Talent: bahwa setiap anak sudah membawa potensi melekat yang tidak boleh dipaksa atau diseragamkan.

Pendekatan Ki Hajar tentang “tut wuri handayani” juga hadir dalam implementasi DNA Talent di Sekolah Rakyat: guru tidak memaksa anak mengikuti jalur yang tidak sesuai dengan fitrahnya, melainkan memberikan dorongan lembut dari belakang agar kekuatan alaminya tumbuh dengan sendirinya.

Dengan demikian, penerapan DNA Talent Ari Ginanjar di Sekolah Rakyat bukan hanya inovasi kontemporer, tetapi juga bentuk nyata dari warisan pedagogik klasik menggabungkan teori Gardner tentang kecerdasan majemuk, prinsip sosial Vygotsky, dan falsafah among Ki Hajar Dewantara.

Hasilnya adalah pendidikan yang benar-benar memanusiakan: membiarkan anak tumbuh menurut “kode batin” mereka sendiri, menemukan misi hidupnya, dan berkontribusi bagi masyarakat sesuai panggilan autentiknya.

Pada akhirnya, Sekolah Rakyat bukan sekadar sekolah. Ia adalah pernyataan moral: bahwa pendidikan harus kembali kepada manusia. Ia adalah kritik hidup terhadap sistem yang terlalu birokratis.

Ia adalah bukti bahwa belajar dapat berlangsung tanpa tekanan, tanpa kompetisi berlebihan, dan tanpa pengukuran tunggal yang mengabaikan kekayaan pengalaman anak. Sekolah Rakyat menunjukkan bahwa humanisme bukan teori; ia bisa dihidupkan.

Dan ketika anak-anak mulai tersenyum saat belajar, ketika mereka berani bertanya, ketika mereka peduli pada sekitar, ketika mereka menemukan bakatnya sendiri, di situlah pendidikan kembali menemukan jati dirinya.

Sekolah Rakyat bukan masa depan alternatif. Ia adalah pengingat bahwa masa depan pendidikan hanya akan bermakna jika ia berpihak kepada kemanusiaan.

Penutup

Pendidikan humanistik bukanlah konsep abstrak yang hanya hidup dalam teks filsafat atau pidato seremonial.

Ia adalah napas yang menjiwai proses belajar, arah kompas yang menuntun para pendidik, dan cahaya yang menjaga martabat manusia tetap utuh dalam setiap langkah pertumbuhan.

Melalui perjalanan panjang pemikiran dari Tagore, Ki Hajar Dewantara, Rousseau, Dewey, Montessori, Buber, hingga Freire. kita belajar bahwa pendidikan sejatinya adalah ruang untuk memanusiakan, bukan sekadar memproduksi.

Dalam konteks Indonesia hari ini, ketika sekolah formal semakin terjebak dalam logika administrasi, target kuantitatif, dan kompetisi tanpa henti, gerakan Sekolah Rakyat menunjukkan bahwa jalan alternatif itu bukan hanya mungkin, tetapi dibutuhkan.

Ia hadir sebagai oase yang memulihkan kembali esensi belajar: rasa ingin tahu, relasi manusia, pengalaman hidup, kebebasan berekspresi, dan kegembiraan yang tulus.

Ia menghidupkan kembali adab dan kasih, dua nilai yang menjadi inti pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Tagore bahwa manusia tidak dapat tumbuh dalam kecemasan, tetapi berkembang dalam cinta.

Dengan mengintegrasikan pendekatan DNA Talent dan kurikulum multi-entry multi-exit, Sekolah Rakyat juga menunjukkan bahwa inovasi tidak harus bertentangan dengan humanisme.

Justru sebaliknya, inovasi menjadi bermakna ketika melampaui teknologi dan menyentuh kebutuhan hakiki manusia: kesempatan untuk menemukan diri, membangun relasi sosial, dan menjadi bagian dari kehidupan bersama.

Anak-anak bukan hanya belajar membaca atau berhitung, tetapi belajar memahami dunia dan dirinya belajar menjadi manusia yang utuh.

Akhirnya, pendidikan bukan tentang menyiapkan anak untuk menghadapi masa depan, tetapi tentang memberi mereka keberanian untuk menciptakan masa depan itu.

Dan keberanian itu hanya dapat tumbuh dari pendidikan yang memanusiakan. Sekolah Rakyat hadir untuk mengingatkan kita bahwa pendidikan yang baik selalu dimulai dari satu hal: menghormati manusia sebagai manusia.

Jika pendidikan mampu menjaga martabat itu, maka apa pun bentuk sekolahnya, ia telah menjalankan tugas sucinya. Jika tidak, kita sekadar membangun gedung tanpa jiwa.


*Penulis merupakan Kepala Sekolah Rakyat Terintegrasi 36 Lebak dan Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Untirta.

Editor: Esih Yuliasari

Bagikan Artikel

Terpopuler_______

Scroll to Top