EKBISBANTEN.COM – Di pagi yang lembut di pinggiran kota, Siti (72 tahun) membawa kantong obat ditangannya sambil mulai menyiapkan sarapan dan minum untuk cucu-nya. Kini lansia 72 tahun itu harus menjadi pengasuh bagi cucu-nya yang ditinggal bekerja oleh ayah dan ibu sang anak. Dulu, kata Siti, di rumah lebih ramai. Tapi kini rumah lebih sepi, anak-anaknya bekerja di pusat kota. Sementara itu ia sekarang harus mengurus cucunya. Kisah Siti bukanlah anekdot semata. Ia potret kecil dari perubahan besar, dimana populasi Indonesia sedang menua.
Tren Populasi yang Menua
Penuaan populasi muncul ketika dua tren demografis bertemu yakni tingkat kelahiran menurun dan banyak orang sekarang hidup lebih lama. Di Indonesia, tanda-tanda populasi yang menua itu mulai terlihat. Angka harapan hidup terus meningkat, dimana BPS mencatat life expectancy (angka harapan hidup) Indonesia sekarang mencapai 74 tahun pada 2024. Angka harapan hidup yang menandai lebih banyak orang hidup sampai usia lanjut dibanding generasi sebelumnya. Pada saat yang sama, angka kelahiran total menurun mendekati tingkat penggantinya. Dalam beberapa estimasi nasional dan ringkasan tren demografi, Total Fertility Rate (TFR) Indonesia berada di kisaran mendekati 2,1 anak per wanita, level yang menandai transisi demografis menuju proporsi usia tua yang lebih besar.
Perubahan demografi ini sudah mengubah komposisi penduduk secara nyata. Menurut kompilasi data internasional, persentase penduduk usia 65 tahun ke atas berada pada kisaran 10% pada 2023-2024, dan diproyeksikan meningkat tajam di masa depan. World Bank memperkirakan kemungkinan proporsi lansia meningkat menjadi dua digit pada pertengahan abad ini jika tren terus berlanjut. Faktanya, Pemerintah Indonesia melalui kajian situasi kependudukan (Population Situational Analysis) menyadari bahwa perubahan ini sebagai isu strategis yang memerlukan kebijakan multisektoral.
Dampak Ekonomi Populasi yang Menua
Penuaan membawa implikasi ekonomi yang nyata. Pertama, ada beban fiskal yang bertambah. Lansia membutuhkan layanan kesehatan yang intensif, penanganan penyakit kronis, rehabilitasi, dan kebutuhan perawatan jangka panjang, sementara itu skema pensiun formal di Indonesia belum menjangkau mayoritas pekerja informal. Tanpa safety net yang memadai, banyak lansia yang bergantung pada keluarga atau berada di bawah garis kesejahteraan. Ini adalah potensi masalah sosial sekaligus dapat menjadi beban anggaran yang perlu diantisipasi.
Kedua, struktur tenaga kerja berubah. Saat proporsi usia produktif relatif mengecil, potensi laju pertumbuhan ekonomi bisa menurun, kecuali produktivitas naik atau ada kebijakan memfasilitasi partisipasi kerja lebih lama bagi penduduk usia tua. Namun penuaan bukan sekadar pengurang pertumbuhan ekonomi jika dihadapi dengan bijak, bahkan bisa membuka peluang. Kebijakan yang mendukung pelatihan ulang (reskilling), kerja fleksibel, serta regulasi yang memudahkan part-time atau pekerjaan transisi dapat menjaga kontribusi ekonomi para pekerja senior.
Ketiga, pola konsumsi masyarakat bergeser. Keluarga akan mengalihkan pengeluaran dari pendidikan dan pemenuhan kebutuhan anak menuju layanan kesehatan, alat bantu aktifitas dan mobilitas, serta layanan home-care, atau dengan kata lain akan lahir yang namanya era silver economy. Di negara-negara yang telah lebih dulu menua, sektor ini telah menjadi pendorong ekonomi baru, layanan home-care, telemedicine geriatrik, hingga layanan keuangan pensiun mikro.
Beban Perawatan Lansia
Di Indonesia, perawatan lansia tradisional masih berbasis keluarga. Namun migrasi internal dan gaya hidup modern mengikis kemampuan keluarga sebagai penyedia utama perawatan. Fenomena sandwich generation muncul, dimana orang dewasa kini harus menanggung anak dan orang tua sekaligus. Beban sandwich generation ini tidak merata, dimana umumnya perempuan-lah yang lebih sering menjadi caregiver utama, sehingga risiko ekonomi (seperti pengurangan jam kerja, penghasilan, dan akumulasi pensiun) cenderung menimpa perempuan.
Di tingkat komunitas, keterisolasian lansia dari kehidupan sosial telah menjadi persoalan bagi kesehatan publik. Kesepian yang dialami lansia berkaitan erat dengan penurunan fungsi kognitif dan gangguan mental, sehingga diperlukan kebijakan yang efektif serta menggabungkan layanan medis dengan intervensi sosial.
Sistem kesehatan primer atau layanan kesehatan tingkat pertama, seperti puskesmas dan fasilitas di tingkat desa, adalah garis terdepan dalam penanganan penuaan. Namun kapasitas untuk layanan geriatrik belumlah merata, seperti tersedianya tenaga kesehatan terlatih, manajemen polifarmasi, dan sistem rujukan untuk kasus penyakit kronis bagi lansia. Infrastruktur kota pun kerap belum ramah lansia misalnya trotoar yang tidak rata, transportasi massal yang kurang aksesibel, dan perumahan yang sulit diadaptasi bagi keterbatasan mobilitas para lansia.
Inovasi, Peluang dan Intervensi ditengah Populasi yang Menua
Penuaan populasi terlihat nyata bila melihat fakta yang ada, tetapi ini membuka ruang bagi inovasi. Telemedicine yang mengkhususkan diri pada manajemen obat dan kunjungan jarak jauh, perangkat asistif yang terjangkau, layanan home-care, hingga produk keuangan khusus untuk pensiun bisa menjadi bagian dari solusi. Pemerintah bisa mendorong munculnya ekosistem ini lewat insentif fiskal, kemudahan perizinan bagi penyedia layanan berkualitas, dan program sertifikasi tenaga perawatan.
Di sektor ketenagakerjaan, perusahaan yang menerapkan aturan fleksibel, program mentoring lintas generasi, dan penyesuaian tempat kerja untuk pekerja berusia lanjut bisa menjadi pelopor model inklusi usia. Selain mengurangi tekanan pada anggaran publik, kebijakan ini dapat menjaga produktivitas ekonomi.
Penuaan, yang ditandai dengan usia harapan hidup yang meningkat, adalah tanda keberhasilan pembangunan dimana kesehatan menjadi lebih baik, anak lebih sedikit, dan usia hidup lebih lama. Namun keberhasilan itu harus disertai kemampuan mengelola konsekuensi dan implikasi dampaknya terhadap kesehatan serta sosial-ekonomi dari semakin meningkatnya usia para lansia. Membangun layanan primer yang kuat, membentuk jaminan sosial yang inklusif, dan mendorong pasar yang memproduksi solusi berkualitas untuk lansia adalah pilihan yang harus dilakukan bila kita menginginkan agar penuaan populasi tidak menjadi momok krisis di masa depan.***
*Penulis merupakan Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).






