EKBISBANTEN.COM – Dalam beberapa tahun terakhir, aset kripto telah berkembang pesat dan menjadi bagian integral dari lanskap ekonomi digital Indonesia.
Tidak lagi terbatas pada komunitas teknologi atau investor profesional, aset kripto kini kian diminati oleh berbagai kalangan masyarakat.
Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara masyarakat berinvestasi dan bertransaksi secara digital.
Seiring dengan pertumbuhan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah merespons dengan kebijakan perpajakan yang adaptif dan progresif.
Salah satu regulasi terbaru yang patut dicermati adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025, yang mengatur ketentuan perpajakan atas transaksi aset kripto.
Regulasi ini merupakan langkah strategis dalam mendukung penguatan sektor keuangan digital serta menciptakan kepastian hukum bagi pelaku usaha dan investor.
Salah satu poin penting dalam PMK tersebut adalah perubahan klasifikasi aset kripto dari komoditas menjadi aset keuangan digital.
Dengan demikian, transaksi jual beli aset kripto tidak lagi dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), melainkan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Final.
Tarif PPh Final yang berlaku adalah 0,21% dari nilai transaksi apabila dilakukan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, dan 1% jika dilakukan melalui PPMSE luar negeri.
Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam aktivitas ekonomi digital.
Pemerintah juga telah mengalihkan pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Langkah ini diharapkan dapat memperkuat integritas dan stabilitas sektor keuangan digital nasional.
Dari sisi penerimaan pajak, kontribusi sektor kripto menunjukkan tren positif. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penerimaan pajak dari transaksi aset kripto mencapai Rp246 miliar pada tahun 2022, menurun menjadi Rp222 miliar pada 2023, namun kembali meningkat signifikan menjadi Rp620 miliar pada 2024.
Hingga pertengahan tahun 2025, penerimaan telah mencapai Rp115 miliar, dan diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam investasi digital.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Volatilitas harga aset kripto yang tinggi dapat memengaruhi stabilitas penerimaan pajak.
Oleh karena itu, edukasi dan sosialisasi mengenai kewajiban perpajakan menjadi sangat penting.
Masyarakat perlu memahami bahwa keuntungan dari transaksi aset kripto merupakan penghasilan yang wajib dilaporkan dan dikenai pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
Sebagai bagian dari masyarakat digital yang bertanggung jawab, kita memiliki peran penting dalam mendukung kebijakan pemerintah.
Kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan bukan hanya bentuk kontribusi terhadap pembangunan nasional, tetapi juga cerminan integritas dan kesadaran hukum.
Pemerintah melalui DJP terus berupaya menyediakan layanan digital yang mudah diakses serta melakukan sosialisasi secara aktif agar masyarakat dapat memahami dan memenuhi kewajiban perpajakan dengan baik.
Dengan semangat kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat, diharapkan ekosistem ekonomi digital Indonesia dapat tumbuh secara inklusif dan berkelanjutan.
Pajak atas transaksi aset kripto bukan sekadar instrumen fiskal, tetapi juga fondasi bagi tata kelola ekonomi digital yang adil dan transparan.
——-
*Penulis adalah Penyuluh Pajak Kanwil DJP Banten. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis, bukan cerminan instansi tempat penulis bekerja