Menakar Kenaikan Upah Minimum 2026: Antara Tuntutan Buruh, Kekhawatiran Pengusaha, dan Formula Pemerintah

- Rabu, 3 September 2025

| 09:12 WIB

Jemmy Ibnu Suardi

Oleh: Jemmy Ibnu Suardi

EKBISBANTEN.COM – Debat tahunan mengenai upah minimum kembali menghangat. Menjelang penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk tahun 2026, para pemangku kepentingan—pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha—berada di persimpangan jalan, mencoba menemukan titik temu yang adil.

Tahun ini, dinamika pengupahan terasa lebih kompleks dan menantang. Di satu sisi, serikat pekerja menyuarakan tuntutan yang tegas, sementara di sisi lain, pengusaha menekankan pentingnya keberlanjutan bisnis.

Di tengah tarik-ulur ini, pemerintah berperan sebagai penengah, dipandu oleh formula resmi yang kini memiliki ruang negosiasi yang lebih besar.

Suara Buruh menuntut kenaikan upah dan penghapusan “Upah Murah”, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh telah mengambil sikap vokal dengan menuntut kenaikan upah minimum 2026 di kisaran 8,5% hingga 10,5%.

Tuntutan ini tidak hanya sekadar angka, tetapi merupakan bagian dari gerakan yang lebih besar untuk menghapuskan sistem outsourcing dan melawan kebijakan “upah murah”.

Presiden KSPI Said Iqbal berpendapat bahwa kenaikan konservatif tidak akan signifikan meningkatkan daya beli pekerja, bahkan membandingkannya dengan kenaikan tunjangan perumahan anggota dewan yang dianggap kontradiktif.

Serikat buruh juga mengusulkan kenaikan upah minimum sektoral (UMSP/UMSK) sebesar 0,5% hingga 5% untuk industri-industri yang lebih menguntungkan, seperti sektor farmasi, makanan dan minuman, atau digital. Usulan ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa kondisi setiap sektor usaha berbeda dan tidak bisa disamakan.

Di sisi lain ada kekhawatiran pengusaha dalam menjaga keseimbangan ekonomi.
Namun, dari sudut pandang pengusaha, Kadin dan Apindo menyerukan kehati-hatian.

Mereka berpendapat bahwa penetapan upah harus mempertimbangkan kemampuan riil dunia usaha dan tantangan ekonomi yang masih ada. Menurut mereka, perekonomian nasional masih dihadapkan pada daya beli masyarakat yang belum pulih dan gejolak geopolitik global.

Kekhawatiran terbesar adalah bahwa kenaikan upah yang terlalu tinggi dapat menekan profitabilitas, yang berpotensi memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

Pengusaha menyadari adanya perbedaan kondisi antarsektor, di mana industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki masih berjuang untuk bertahan, berbeda dengan sektor yang sedang tumbuh pesat.

Formula Pemerintah diharapkan dapat menghasilkan fleksibilitas dan terkait putusan Mahkamah Konstitusi,
Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan, memastikan bahwa penetapan upah minimum 2026 akan tetap menggunakan formula resmi yang mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu (α).

Formula ini, yang diatur dalam regulasi seperti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024, telah disesuaikan secara eksplisit dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023.

Putusan MK tersebut secara signifikan memperkuat peran Dewan Pengupahan, yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja, dalam proses penetapan upah.

Variabel α dalam formula, yang memiliki rentang nilai 0,10 hingga 0,30, menjadi instrumen kunci yang memungkinkan negosiasi dan kompromi. Dengan adanya dorongan dari putusan MK, dialog tripartit menjadi lebih substantif dan berani, menuntut semua pihak untuk bernegosiasi secara lebih serius.

Studi Kasus Banten: Sebuah Indikasi Tren Kenaikan Upah

Untuk memberikan gambaran nyata, tren historis di Provinsi Banten dapat menjadi indikasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kondisi ekonomi Banten pada Triwulan II 2025 tumbuh 5,33% secara tahunan (y-on-y), melampaui rata-rata nasional. Sementara itu, inflasi Banten pada Juni 2025 terkendali di 1,83%.

Menariknya, kenaikan UMP Banten dari 2024 ke 2025 sebesar 6,5% adalah lonjakan signifikan dari kenaikan 2,5% pada periode 2023 ke 2024.

Kenaikan yang lebih substansial pada tahun 2025 ini menunjukkan bahwa mekanisme penetapan upah telah bergeser ke arah yang lebih menguntungkan pekerja. Ini mengindikasikan bahwa tren serupa kemungkinan akan berlanjut ke tahun 2026.

Hal ini menjadi sebuah kompromi politik, angka pasti kenaikan upah minimum 2026 tidak dapat diprediksi dengan pasti, melainkan akan menjadi hasil dari kompromi politik dan ekonomi.

Keputusan akhir akan mencerminkan keseimbangan antara tuntutan buruh, kekhawatiran pengusaha, dan kerangka kebijakan pemerintah.

Formula resmi, Putusan MK, dan tren positif dari data ekonomi akan menjadi faktor penentu. Keberhasilan penetapan ini akan sangat bergantung pada seberapa efektif dialog tripartit dapat menjembatani perbedaan pandangan dan mencapai konsensus yang adil dan berimbang bagi semua pihak.


Penulis merupakan anggota DEPEPROV Banten Unsur Pekerja.

Editor: Rizal Fauzi

Bagikan Artikel

Terpopuler_______

Scroll to Top