EKBISBANTEN.COM – Pertumbuhan jumlah sekolah dasar di Banten beberapa tahun terakhir kerap dirayakan sebagai bukti kemajuan pendidikan daerah. Laporan resmi menunjukkan grafik yang terus menanjak, seolah menandai bahwa akses pendidikan dasar semakin merata.
Namun, ketika angka-angka itu dihadapkan pada kenyataan di lapangan, optimisme tersebut segera runtuh. Di banyak kabupaten dan kota, ruang-ruang kelas berdinding retak, atap yang lapuk menanti waktu untuk ambruk, serta lantai-lantai yang bergelombang akibat tidak pernah tersentuh perbaikan.
Anak-anak belajar sambil menatap plafon yang rapuh, guru mengajar sembari berharap angin tidak terlalu kencang hari ini. Di sisi lain, berbagai laporan pembangunan dipresentasikan dengan penuh percaya diri, seakan yang dibutuhkan pendidikan dasar hanyalah penambahan gedung baru, bukan perawatan dan penyelamatan bangunan lama yang menjadi pondasi sehari-hari proses belajar.
Kontras antara meningkatnya jumlah sekolah dan merosotnya mutu infrastruktur ini menunjukkan persoalan yang jauh lebih mendasar: pendidikan dasar di Banten tumbuh dalam statistik, tetapi tidak dalam kualitas. Pemerintah daerah tampak sibuk mengejar capaian angka, sementara ribuan ruang kelas menunggu perhatian yang tak kunjung datang.
Di tengah retaknya tembok-tembok sekolah itu, sesungguhnya retak pula komitmen kita terhadap keselamatan, martabat, dan masa depan anak-anak Banten. Jika ruang belajar saja tidak kokoh, bagaimana mungkin kita berharap lahirnya generasi yang kuat?
Data dan Fakta
Potret kerusakan sekolah dasar di Banten bukanlah cerita dari satu dua titik bermasalah, melainkan kondisi sistemik yang tercermin jelas dalam data resmi. Di Kabupaten Tangerang, Dinas Pendidikan setempat mencatat 96 sekolah dasar negeri berada dalam kategori rusak berat dan membutuhkan penanganan segera.
Di Kota Serang, situasinya tak kalah memprihatinkan: pemerintah kota mengusulkan perbaikan 59 sekolah rusak berat, dan 50 di antaranya adalah SD. Angka ini menegaskan bahwa kerusakan infrastruktur pendidikan telah menjangkau jantung ibu kota provinsi.
Di Kabupaten Pandeglang, skala persoalannya bahkan lebih kompleks. Dinas Pendidikan melaporkan adanya 1.948 ruang kelas SD rusak ringan, 1.700 rusak sedang, dan 773 rusak berat. Sebaran kerusakan yang masif ini menunjukkan bahwa persoalan tidak hanya terjadi pada bangunan tua, tetapi meluas ke hampir seluruh wilayah sekolah.
Pada tingkat provinsi, laporan Kemendikbud mencatat lebih dari 3.348 ruang kelas SD masuk kategori rusak berat, mengonfirmasi betapa seriusnya masalah infrastruktur pendidikan dasar di Banten.
Angka-angka tersebut bukan sekadar statistik, tetapi peringatan keras bahwa ribuan siswa di Banten masih belajar di ruang kelas yang tidak aman. Sementara itu, program perbaikan berjalan jauh lebih lambat dibanding laju kerusakan yang terjadi, sehingga ketertinggalan penanganan semakin melebar dari tahun ke tahun.
Analisis Penyebab
Kerusakan sekolah dasar di Banten tidak terjadi dalam semalam, dan bukan pula semata-mata akibat usia bangunan. Ada rangkaian faktor kebijakan dan tata kelola yang saling bertumpuk, membentuk lingkaran persoalan yang tak pernah benar-benar diputus.
Pertama, pemeliharaan gedung sekolah nyaris tidak menjadi prioritas anggaran. Pemerintah daerah lebih sering menonjolkan pembangunan gedung baru, karena lebih mudah dipromosikan sebagai capaian ketimbang mengalokasikan dana rutin untuk merawat bangunan yang sudah ada. Padahal, kerusakan yang dibiarkan bertahun-tahun membuat biaya perbaikan membengkak dan memperbesar risiko keselamatan bagi siswa dan guru.
Kedua, ketimpangan distribusi anggaran pendidikan ikut menyuburkan persoalan. Daerah dengan kapasitas fiskal rendah seperti Lebak dan Pandeglang tidak mampu memenuhi kebutuhan pemeliharaan infrastruktur pendidikan dasar yang besar, sementara daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi seperti Tangerang cenderung terjebak pada pembangunan yang tidak selalu proporsional dengan kebutuhan riil. Ketiadaan mekanisme pemerataan yang efektif membuat ketimpangan kualitas fisik sekolah antarwilayah semakin terlihat.
Ketiga, kualitas perencanaan dan pengerjaan proyek infrastruktur pendidikan masih lemah. Banyak sekolah dibangun tanpa kajian risiko yang memadai—mulai dari struktur tanah, drainase, hingga potensi banjir sehingga bangunan cepat mengalami kerusakan. Ditambah dengan pengawasan konstruksi yang longgar dan praktik tender yang lebih mementingkan harga terendah daripada kualitas pengerjaan, sekolah-sekolah itu akhirnya menjadi rapuh jauh sebelum usia pakainya berakhir.
Keempat, absennya sistem pelaporan dan pemantauan kerusakan yang terintegrasi membuat banyak persoalan tidak terdata dengan baik. Guru dan kepala sekolah sering kali sudah melaporkan kerusakan, tetapi laporan itu berhenti di tingkat kecamatan tanpa tindak lanjut jelas karena terbatasnya anggaran atau birokrasi yang berbelit. Akibatnya, sekolah-sekolah yang masuk daftar perbaikan tidak pernah mendapatkan kepastian kapan akan ditangani.
Kelima, perubahan iklim dan intensitas cuaca ekstrem mempercepat kerusakan bangunan yang sudah lemah. Hujan lebat, banjir lokal, dan kelembapan tinggi memperparah keretakan dan pelapukan material bangunan yang sejak awal tidak dirancang untuk menahan kondisi tersebut.
Rangkaian penyebab ini menunjukkan bahwa persoalan infrastruktur pendidikan dasar di Banten sesungguhnya bukan soal teknis semata, tetapi cermin dari tata kelola pendidikan yang belum menempatkan keselamatan dan kualitas lingkungan belajar sebagai prioritas utama. Selama kerangka kebijakannya masih menomorsatukan pembangunan baru dan bukan perawatan berkelanjutan, siklus kerusakan sekolah akan terus berulang.
Dampak Langsung terhadap Siswa dan Guru
Kerusakan fisik sekolah dasar di Banten tidak hanya menghadirkan persoalan teknis, tetapi menyentuh langsung inti proses pendidikan: keamanan, kenyamanan, dan keberlangsungan belajar. Bagi siswa, ruang kelas yang retak, atap yang bocor, atau lantai yang bergelombang menciptakan suasana belajar yang jauh dari ideal.
Alih-alih berkonsentrasi pada pelajaran, banyak siswa justru dihantui kecemasan akan keselamatan dirinya. Pada musim hujan, kekhawatiran itu semakin nyata ketika air merembes ke dalam kelas dan tiang atau plafon menunjukkan tanda-tanda melemah. Pada usia sekolah dasar, pengalaman belajar yang tidak aman seperti ini bisa memengaruhi motivasi, emosi, dan persepsi mereka tentang sekolah sebagai ruang yang seharusnya memberi rasa aman.
Guru menghadapi dampak yang tidak kalah serius. Mereka harus mengajar dalam kondisi yang serba terbatas ruang kelas dipadatkan, kegiatan belajar dipindah ke ruang guru, perpustakaan, atau bahkan teras sekolah. Banyak guru mengakui bahwa perhatian mereka terbagi antara mengajar dan memastikan kelas tetap aman bagi murid.
Situasi ini membuat kualitas pengajaran tidak pernah mencapai potensi terbaiknya. Guru, yang seharusnya menjadi pusat pembelajaran, justru terjebak dalam peran tambahan sebagai pengelola risiko fisik bangunan sekolah.
Di tingkat institusional, kerusakan ruang kelas berpengaruh langsung terhadap jam belajar. Sekolah yang kekurangan ruang aman sering terpaksa menerapkan sistem belajar bergantian, mengurangi durasi belajar tatap muka yang sangat dibutuhkan siswa pada tahap pendidikan dasar. Ketimpangan juga semakin melebar: sekolah yang bangunannya layak menyediakan kesempatan belajar yang lebih stabil, sementara sekolah-sekolah di daerah tertinggal atau pelosok harus berkompromi dengan keadaan fisik yang tidak mendukung.
Dampak ini menunjukkan satu hal penting: kerusakan sekolah bukan hanya masalah bangunan, tetapi ancaman terhadap kualitas manusia yang sedang dibentuk. Ketika ruang belajar tidak layak, proses belajar pun kehilangan dasar utamanya—rasa aman. Dan tanpa rasa aman, sulit berharap munculnya pembelajaran yang bermakna, apalagi generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan.
Usulan Solusi dan Jalan Perbaikan
Kerentanan infrastruktur sekolah dasar di Banten tidak dapat lagi direspons dengan pendekatan seremonial ataupun proyek-proyek jangka pendek. Pemerintah daerah perlu menata ulang prioritas pembangunan pendidikan dengan menempatkan keselamatan siswa sebagai agenda yang tidak bisa dinegosiasikan.
Langkah pertama yang mendesak adalah audit teknis menyeluruh terhadap seluruh bangunan sekolah dasar, bukan hanya yang telah dilaporkan rusak. Audit ini idealnya dikerjakan oleh lembaga independen agar hasilnya bersih dari kepentingan politik dan dapat menjadi dasar pengambilan keputusan yang kredibel.
Sesudah peta kerusakan tersedia, pemerintah harus mengubah pendekatan penganggaran dari sekadar distribusi merata menjadi alokasi berbasis kebutuhan riil. Sekolah dengan tingkat kerusakan struktural tinggi harus menjadi prioritas, sekalipun lokasinya jauh dari pusat pemerintahan atau tidak memiliki ukuran elektoral yang besar. Tanpa keberanian untuk memutus pola belanja yang tidak efektif, perbaikan hanya akan menjadi rutinitas tahunan tanpa hasil yang berarti.
Kualitas pembangunan juga menuntut perhatian. Selama ini, celah pengawasan sering membuat renovasi sekolah dikerjakan sekadarnya. Karena itu, pengawasan berbasis komunitas, melibatkan komite sekolah, tokoh masyarakat, dan lembaga sosial setempat, perlu dilembagakan.
Model ini bukan hanya menekan potensi penyimpangan, tetapi juga memastikan mutu pekerjaan sesuai dengan standar keselamatan bangunan. Pada titik ini, transparansi menjadi syarat mutlak: publik harus dapat mengakses progres pekerjaan, kontraktor pelaksana, hingga besaran anggarannya.
Dalam jangka panjang, Banten memerlukan standar minimum kelayakan bangunan sekolah yang diaudit secara berkala sebagaimana akreditasi pendidikan. Pemerintah provinsi dapat memainkan peran koordinatif, memastikan kabupaten-kota tidak berjalan sendiri-sendiri dan saling mengalihkan tanggung jawab. Daerah yang gagal memenuhi standar perlu diberi sanksi administratif atau pengurangan insentif fiskal untuk mendorong kepatuhan terhadap regulasi.
Pada akhirnya, perbaikan pendidikan dasar tidak boleh diukur dari seberapa banyak sekolah yang dibangun, tetapi dari seberapa aman ruang kelas yang digunakan anak-anak setiap hari. Pembangunan fisik pendidikan bukan proyek yang selesai dalam satu tahun anggaran, melainkan investasi jangka panjang.
Banten membutuhkan keberanian politik untuk menempatkan keselamatan siswa sebagai inti kebijakan. Tanpa itu, retak di dinding sekolah akan terus menjadi simbol retaknya komitmen negara terhadap masa depan warganya yang paling muda.
Ajakan Moral
Pada akhirnya, seruan untuk memperbaiki sekolah-sekolah dasar di Banten bukan sekadar panggilan teknis mengenai bangunan yang retak atau atap yang nyaris runtuh. Ini adalah ujian moral bagi pemerintah dan masyarakat: apakah kita sungguh-sungguh menganggap anak-anak sebagai prioritas, atau sekadar menjadikannya slogan pembangunan.
Setiap pagi, ribuan siswa melangkah masuk ke ruang kelas yang tidak layak, dinding yang retak, dan atap yang bocor—sebuah kondisi yang seharusnya tidak pernah dibiarkan terjadi dalam negara yang mengaku menempatkan pendidikan sebagai fondasi masa depan. Ruang kelas itu bukan hanya tempat belajar, tetapi cermin dari sejauh mana kita menghargai keselamatan dan martabat mereka.
Jika negara ingin disebut hadir, kehadiran itu harus dimulai dari ruang-ruang paling rapuh yang sehari-hari dihuni anak-anak kita. Bukan melalui pidato pembangunan, melainkan melalui tindakan nyata: audit menyeluruh yang transparan, penggunaan anggaran yang tepat sasaran, dan komitmen politik yang tidak tunduk pada siklus elektoral.
Pemerintah daerah tidak dapat lagi berlindung di balik keterbatasan anggaran atau birokrasi yang lamban. Keterlambatan memperbaiki ruang kelas yang rusak bukan hanya kegagalan administratif, tetapi kelalaian moral yang mempengaruhi kehidupan generasi masa depan.
Kini saatnya memutus rantai abai yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Masyarakat, komite sekolah, orang tua, dan media perlu mengambil bagian dalam pengawasan yang lebih tegas agar setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar berubah menjadi ruang kelas yang aman.
Sebab masa depan Banten tidak ditentukan oleh angka-angka serapan anggaran atau laporan kinerja, tetapi oleh anak-anak yang berhak belajar tanpa rasa takut. Mereka adalah pengingat paling jujur bahwa keselamatan bukanlah fasilitas tambahan, melainkan hak dasar. Dan ketika hak dasar itu diabaikan, maka retaknya dinding sekolah adalah retaknya janji kita sebagai orang dewasa untuk melindungi generasi yang akan datang.
*Penulis merupakan mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.







