TANGERANG, EKBISBANTEN.COM – Ketua Dewan Pers, Komarudin Hidayat, menanggapi maraknya fenomena pengibaran bendera bergambar tengkorak khas bajak laut dari serial anime One Piece menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia. Menurutnya, pengibaran bendera tersebut tidak bisa serta-merta dipidanakan hanya karena dianggap menyimpang atau mengandung unsur kritik terhadap pemerintah.
“Sekarang yang lagi viral itu One Piece, kan? Mau digunakan untuk politik atau kritik, terserah. Tapi itu tidak bisa dipidanakan (selama pemasangannya di bawah bendera merah putih),” ujar Komarudin saat menjadi narasumber Rapat Koordinasi Pembahasan Peningkatan Nilai Indeks Kemerdekaan Pers Tahun 2025 yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Republik Indonesia di Tangerang, Jumat (8/8/2025).
Komarudin menilai, simbol dalam budaya populer seperti One Piece semestinya disikapi dengan bijak dan tidak berlebihan. Tanggapan yang terlalu keras justru berisiko memperbesar isu yang sebenarnya bisa dianggap ringan. “Saya dengar, One Piece ini dianggap rawan, bisa ditanggapi sebagai makar. Padahal, yang tadinya orang enggak tahu, jadi tahu. Siapa yang membuat populer? Ya penguasa sendiri, karena reaksinya berlebihan,” ungkapnya.
Komarudin kemudian menyinggung sikap Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam menghadapi simbol-simbol daerah seperti bendera Aceh. “Coba dulu zaman Gus Dur, ketika ada bendera Aceh. Dia bilang, ‘Anggap saja anak kecil main balon.’ Yang penting, merah putih tetap yang paling tinggi. Yang lain anggap saja balon. Santai saja,” ujarnya.
Fenomena pengibaran bendera One Piece telah memicu diskusi publik, terutama di media sosial. Sebagian masyarakat menganggap pengibaran bendera ini sebagai bentuk sindiran terhadap pemerintah, mengekspresikan kekecewaan dan ketidakpuasan sosial.
Dalam cerita One Piece, simbol bendera tengkorak dengan topi jerami dikenal sebagai Jolly Roger, lambang kelompok bajak laut topi jerami yang dipimpin oleh tokoh utama, Monkey D. Luffy. Di Indonesia, simbol ini kini dianggap sebagian kalangan sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.
Komarudin mengimbau agar pihak pemerintah maupun wartawan lebih bijak dalam menyikapi fenomena semacam ini. “Wartawan atau penguasa, cobalah gunakan bahasa yang bersahabat. Toh kita ini satu bangsa,” tukasnya.
Turut hadir sebagai narasumber Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi dan Informasi Kemenkopolkam Marsekal Muda TNI Eko Dono Indarto, Direktur Ekosistem Media Komdigi Farida Dewi Maharani, dan Plt Kepala Diskominfo SP Banten Arif Agus Rakhman.***