SERANG, EKBISBANTEN.COM – Festival Teater Banten (FTB) kembali digelar untuk ketiga kalinya pada 4–6 September 2025 di Plaza Aspirasi, Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Kota Serang.
Mengangkat tema “Ruang Silang”, festival ini diinisiasi para pegiat seni teater di Banten sebagai ruang silaturahmi, perayaan, sekaligus refleksi perkembangan teater di daerah.
Ketua FTB 3, Imaf F Liwa, mengatakan ajang ini tidak hanya menampilkan pertunjukan dari kelompok teater terkurasi, tetapi juga menghadirkan kegiatan lintas disiplin yang mendorong kolaborasi, diskusi, serta pertukaran pengetahuan.
“FTB 3 adalah penegasan bahwa teater bukan sekadar tontonan, melainkan ruang perjumpaan, pendidikan, dan advokasi kebudayaan,” ujar Imaf, Senin (18/8/2025).
Menurut Imaf, penyelenggaraan FTB lahir dari semangat kemandirian, baik secara artistik maupun pembiayaan. Dua festival sebelumnya bahkan dibiayai secara kolektif oleh para pegiat dan penikmat teater.
“Ke depan kami berharap ada kesadaran pemerintah untuk hadir dalam pembangunan kebudayaan. Namun kami juga paham, memilih jalan seni berarti siap berada di ruang silang, termasuk dengan pemerintah,” katanya.
Ia menilai dialog dengan pemangku kebijakan, termasuk kepala daerah, masih sulit dilakukan karena cara pandang pemerintah terhadap kebudayaan cenderung seremonial.
“Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) sebenarnya sudah ada, tapi kesenjangan itu tetap terasa,” ucapnya.
Meski begitu, Imaf menegaskan semangat kemandirian akan terus dijaga agar festival ini inklusif, partisipatif, serta membuka ruang bagi masyarakat untuk mengenal dan mengapresiasi seni teater.
“Festival Teater Banten ke-3 adalah undangan terbuka, tidak hanya bagi penikmat seni, tetapi juga bagi semua pihak yang peduli terhadap ekosistem kebudayaan di Banten,” katanya.
Sementara itu, tokoh seni pertunjukan Banten, Nazla Toyib Amir, menilai pergerakan seni budaya di Banten cenderung tumbuh dari bawah (bottom-up), bukan dari atas (top-down).
“Masalahnya, pola gerak pegiat seni dan pemerintah tidak pernah bertemu. Pemerintah tidak mampu menerjemahkan kebudayaan secara jelas, sehingga gerakan seni sering terhenti di tengah jalan,” ujarnya.
Nazla menambahkan, menjelang 25 tahun usia Provinsi Banten, tantangan semakin besar. Jika pola ini berlanjut, sulit bagi Banten berkontribusi pada pencapaian Indonesia Emas 2045.
“Saya masih ragu apakah Pokok Pikiran Kebudayaan bisa benar-benar menjadi peta jalan kebudayaan kita, atau sebaliknya,” pungkasnya.*