EKBISBANTEN.COM – Musibah besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 kembali mengguncang ketenangan bangsa.
Banjir bandang dan longsor yang terjadi seakan menjadi tsunami kedua karena daya rusaknya begitu menghentak dan meluas.
Dalam situasi seperti ini, kita tidak hanya berduka, tetapi juga dituntut memahami akar-akar bencana dengan jernih. Alam memberi isyarat bahwa ada hal-hal mendasar yang selama ini kita abaikan.
Dalam hal ini, patut kita renungkan kembali falsafah Minangkabau “alam terkembang jadi guru”. Kita perlu melihat kehidupan sebagai rangkaian pelajaran yang terus berlangsung.
Dalam Islam, ayat-ayat Allah hadir melalui tiga jalur: wahyu tertulis yang menuntun, nurani manusia yang membedakan, dan ayat kauniyah yang membentang dalam fenomena alam. Ketiganya memberikan arah agar manusia tidak salah membaca realitas.
Wahyu menjadi kompas moral, sedangkan ilmu pengetahuan menjadi alat pembacanya. Bila ilmu dipisahkan dari wahyu, arah hilang; bila wahyu tidak dibaca dengan ilmu, makna mengambang.
Musibah Sumatera adalah panggilan agar manusia menyatukan akal, hati, dan iman dalam membaca kehidupan.
Perhatikan Ayat Kauniyah
Ayat kauniyah membuka mata kita bahwa setiap fenomena alam menyimpan hikmah. Ketika Allah memerintahkan manusia memperhatikan unta, itu adalah ajakan untuk mengkaji ciptaan-Nya secara ilmiah.
Adaptasi unta, ketahanan tubuhnya, dan kemampuannya bertahan pada kondisi ekstrem adalah pelajaran riset yang tidak bisa diabaikan.
Alam mengajarkan bahwa kehidupan berjalan melalui ilmu, bukan sekadar perasaan. Karena itu, manusia harus mempelajari fenomena alam sebelum mengambil keputusan besar terkait ruang hidupnya.
Langit yang terhampar dengan ketertiban kosmos memperlihatkan bahwa keseimbangan adalah syarat keberlanjutan. Hukum fisika bekerja dengan presisi tanpa konflik satu sama lain.
Namun manusia sering merusak tatanan ekologis tanpa memahami konsekuensi ilmiahnya. Ketika sungai dialihkan, hutan dibabat, atau kontur tanah diubah sembarangan, tatanan itu menjadi kacau.
Kerusakan yang terjadi di Sumatera adalah hasil dari ketidakseimbangan yang diciptakan manusia sendiri.
Gunung-gunung di Sumatera selama ini berfungsi sebagai penahan tanah dan penjaga ketahanan ekologis.
Namun ketika kawasan hulu dipenuhi tambang, dibiarkan gundul, atau diserahkan kepada kepentingan ekonomi jangka pendek, gunung kehilangan kekuatannya.
Longsor besar yang terjadi adalah bentuk protes alam terhadap kebijakan yang mengabaikan risiko.
Seringkali pemerintah daerah terlambat menyadari bahwa izin tambang di area rawan adalah keputusan yang berbahaya. Kini, alam menagih pertanggungjawaban kebijakan tersebut.
Dataran rendah yang terendam banjir mengingatkan bahwa air selalu mengikuti logika fisika, bukan logika politik atau ekonomi.
Saat daerah resapan hilang, drainase tidak memadai, dan sungai dipenuhi sedimentasi hasil pembukaan hutan, banjir menjadi keniscayaan.
Bencana ini bukan hanya tentang hujan ekstrem, tetapi tentang tata ruang yang kehilangan akhlak ekologis. Setiap genangan adalah pesan bahwa sistem tata kelola air kita bermasalah. Ayat kauniyah ini terlalu jelas untuk diabaikan.
Pembangunan Berbasis IPTEK Berkelanjutan
Indonesia memiliki sumber daya alam yang besar, tetapi potensi itu tidak menjamin keselamatan bila tidak dikelola dengan ilmu.
Banyak negara kaya yang hancur karena salah kelola, dan Indonesia tidak boleh mengulang kesalahan serupa. IPTEK harus menjadi posisi dasar dalam setiap kebijakan ruang, bukan sekadar pelengkap formalitas.
Bencana Sumatera membuka mata bahwa ketertinggalan ilmu dapat berujung pada kehilangan nyawa dan kehancuran ekonomi. Bangsa besar harus berani belajar dari tragedi.
Pembangunan berkelanjutan membutuhkan integrasi iman, ilmu, dan risiko yang dihitung dengan cermat. Setiap proyek infrastruktur harus melalui kajian geologi, hidrologi, dan klimatologi yang mendalam.
Sayangnya, banyak kebijakan masih dipengaruhi kepentingan jangka pendek yang mengabaikan data ilmiah.
Kita perlu membalik paradigma: pembangunan yang aman harus lebih penting daripada pembangunan yang cepat. Bila tidak, kita hanya membangun risiko untuk masa depan.
Evaluasi kebijakan tambang dan pengelolaan hutan menjadi keharusan yang tidak bisa ditunda. Banyak lokasi tambang dibuka di kawasan hulu yang menjadi penyangga ekologis, dan izin diteken tanpa kajian risiko memadai.
Aktivitas penebangan, ekstraksi mineral, dan perubahan lanskap sering dilakukan tanpa pengawasan ketat. Padahal satu izin yang keliru dapat mengancam ribuan nyawa.
Bencana Sumatera harus menjadi momentum untuk mengoreksi seluruh tata kelola sumber daya alam.
Konservasi dan Dampak Keserakahan
Konservasi adalah langkah paling rasional untuk menjaga keberlanjutan hidup. Menanam pohon, menjaga sungai, dan melindungi daerah tangkapan air bukan hanya kegiatan seremonial, tetapi kebutuhan strategis.
Alam hanya dapat melindungi manusia bila manusia merawatnya secara konsisten. Kesadaran ini perlu ditanamkan dalam pendidikan, budaya, dan kebijakan publik. Tanpa konservasi, bencana hanya menunggu waktu.
Tanpa iman, pembangunan dijiwai oleh keserakahan yang menjadi penyebab utama kerusakan ekologis.
Penebangan liar, tambang ilegal, dan pembangunan yang mengabaikan lingkungan menunjukkan bahwa ekonomi sering dianggap lebih penting daripada keselamatan rakyat.
Namun sejarah selalu membuktikan: keserakahan hanya menghasilkan kemiskinan baru.
Bencana Sumatera mengingatkan bahwa keuntungan jangka pendek tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang. Kita harus berani membangun budaya ekologis yang menolak keserakahan.
Bangsa ini harus mengubah paradigma dari eksploitasi menuju regenerasi lingkungan. Konservasi harus menjadi gerakan nasional yang digerakkan bersama—oleh masyarakat, tokoh agama, akademisi, pemerintah, dan komunitas adat.
Keberhasilan konservasi bukan hanya soal jumlah pohon yang ditanam, tetapi perubahan perilaku kolektif terhadap bumi. Alam akan pulih bila manusia sungguh-sungguh kembali menjadi penjaga, bukan perusak. Inilah tugas generasi hari ini.
Musibah ekologis ini menuntut aksi nyata. Solidaritas sosial harus bergerak cepat untuk membantu korban banjir dan longsor di Sumatera.
Bantuan pangan, logistik, obat-obatan, perlindungan anak, serta pemulihan psikososial perlu digerakkan tanpa menunggu komando.
Gerakan amal dari masyarakat, kampus, masjid, organisasi pemuda, dan lembaga sosial harus dipercepat. Kepedulian adalah wujud iman dan aksi kemanusiaan yang sangat dibutuhkan saat ini.
Penutup
Alam adalah guru yang paling jujur dan paling tegas. Ia memberi pelajaran tanpa kata, tetapi pesannya sangat jelas bagi siapa pun yang mau membaca.
Musibah Sumatera mengajak bangsa ini kembali menata akal, hati, dan kebijakan agar selaras dengan hukum alam.
Jika kita gagal membaca ayat-ayat ini, bencana akan menjadi guru yang terus datang dengan cara lebih keras. Karena itu, refleksi harus segera diikuti tindakan.
Semoga tragedi ini menjadi titik balik yang menguatkan komitmen bangsa terhadap pembangunan yang berkeadilan ekologis.
Kita perlu membangun Indonesia yang kokoh bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara nilai, ilmu, dan keberpihakan pada keberlanjutan.
Alam akan terus menjaga manusia yang menjaga alamnya. Dengan semangat “alam terkembang jadi guru”, mari kita bangun masa depan Indonesia yang lebih aman, arif, dan bermartabat.***
*Penulis merupakan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (FKIP Untirta).







