Budaya Inovasi: Penggerak Kampus Berdampak

- Jumat, 14 November 2025

| 11:25 WIB

Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si (Foto: Dok. FKIP Untirta)

Oleh: Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si. (Dekan FKIP UNTIRTA)

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) menyelenggarakan temu bersama insan pers sebagai wujud keterbukaan publik dan akuntabilitas institusi. Dalam forum tersebut, Rektor memaparkan capaian strategis yang menegaskan arah transformasi kampus menuju perguruan tinggi berdampak. Paparan itu bukan sekadar laporan rutin, melainkan penanda bahwa inovasi telah menjadi nafas baru ekosistem akademik UNTIRTA.

Salah satu program besar yang dipresentasikan adalah pengembangan Rumah Sakit Pendidikan. Rumah sakit ini tidak hanya ditujukan sebagai pusat layanan, melainkan sebagai laboratorium ilmu yang akan melahirkan riset, teknologi medis, dan kolaborasi lintas keilmuan. Keberadaannya membuka peluang bagi mahasiswa, dosen, dan tenaga medis untuk terlibat dalam penelitian transformatif yang bermanfaat langsung bagi masyarakat.

Agenda penting lainnya adalah penandatanganan kerja sama antara Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) dengan Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten. Kolaborasi ini memperluas cakupan riset—dari kesehatan masyarakat hingga ketahanan pangan dan keamanan hewan—sekaligus memperkuat fungsi universitas sebagai pusat solusi berbasis ilmu. Dengan kerja sama lintas sektor seperti ini, inovasi menjadi kerja kolektif, bukan sekadar jargon.

Sebagai bagian dari ekosistem transparansi, UNTIRTA juga menyiapkan para ahli dari berbagai bidang sebagai narasumber bagi insan media. Kehadiran pakar di ruang pemberitaan menegaskan bahwa universitas bukan menara gading yang jauh dari realitas. Sebaliknya, ia adalah sumber pengetahuan publik, penyegar diskusi kebijakan, dan penjaga nalar sehat di tengah derasnya arus informasi.

Di sisi internal, budaya inovasi harus tumbuh dari ruang kelas, laboratorium, dan kelompok belajar. Inovasi bukan semata persoalan teknologi tinggi, tetapi cara berpikir, cara bekerja, dan cara menghadirkan solusi. Mahasiswa didorong untuk menjadikan riset sebagai bagian dari kepribadian akademik, sementara dosen dipacu untuk merancang pembelajaran yang adaptif, kreatif, dan relevan dengan perkembangan zaman.

Dalam kerangka otonomi kampus, peran guru besar menjadi sangat krusial. Guru besar bukan beban anggaran, tetapi aset strategis: inovator pembelajaran, penggerak riset, penulis buku ajar, sekaligus penghubung kampus dengan masyarakat. Ketika guru besar diberi ruang untuk berkarya tanpa hambatan birokrasi yang mencekik, maka universitas akan memanen reputasi dan kepercayaan publik yang lebih luas.

Riset yang unggul tidak lahir dari keheningan semata, tetapi dari ekosistem yang memberi keberanian untuk bertanya dan kebebasan untuk mencoba. Oleh karena itu, kampus harus memastikan bahwa laboratorium hidup, data tersedia, dan kolaborasi mudah diakses. Setiap program studi perlu mendorong tema riset yang menjawab kebutuhan daerah dan memperluas kontribusi universitas terhadap pembangunan Banten.

Inovasi juga bergerak melalui pengabdian kepada masyarakat. Kampus berdampak adalah kampus yang hadir, mendengar, dan bekerja bersama warga. Program pemberdayaan desa, penguatan UMKM, literasi digital, pertanian cerdas, serta sekolah-sekolah mitra harus dirancang sebagai wahana pembuktian teori, bukan sekadar rutinitas tahunan. Di ruang inilah ilmu menemukan keberkahan sosialnya.

Selain itu, kampus perlu menata ulang cara berpikir tentang karya dosen. Buku ajar, modul pembelajaran, teknologi tepat guna, dan model pemberdayaan harus dihargai sebagai bentuk inovasi yang sama pentingnya dengan publikasi ilmiah. Ketika karya diapresiasi secara proporsional, maka semangat berinovasi tidak hanya bertumpu pada jurnal internasional, tetapi pada dampak nyata bagi masyarakat.

Budaya inovasi juga menuntut tata kelola modern yang transparan, cepat, dan mendukung. Administrasi akademik harus ditata agar menjadi pelancar, bukan penghambat. Sistem informasi yang terintegrasi memungkinkan proses akademik dan riset berjalan lebih efisien. Dengan demikian, energi sivitas akademika dapat diarahkan untuk berkarya, bukan tersandera oleh kerumitan birokrasi.

Dalam konteks ekonomi pendidikan tinggi, inovasi membuka peluang bagi kampus untuk memperkuat kemandirian pendapatan. Riset yang bermutu melahirkan paten, dan paten yang dimanfaatkan industri menghasilkan royalti. Royalti inilah yang kelak menjadi sumber pendapatan universitas, sekaligus bukti bahwa karya intelektual mampu menopang keberlanjutan finansial kampus.

Oleh karena itu, kampus perlu memperkuat sistem transfer teknologi, inkubator bisnis, dan kantor urusan hak kekayaan intelektual. Ketika produk inovasi terhubung dengan dunia industri, kampus tidak hanya mencetak lulusan, tetapi juga mencetak solusi. Industri mendapatkan manfaat, masyarakat menerima dampak, dan kampus memperoleh nilai tambah yang menopang pengembangan berkelanjutan.

Pada akhirnya, budaya inovasi bukan target, melainkan perjalanan panjang. Ia dibangun dari kebiasaan, dipupuk oleh kolaborasi, dan diperkuat oleh keberanian untuk berubah. Jika seluruh elemen kampus bergerak—dari ruang kelas hingga laboratorium, dari birokrasi hingga kemitraan publik—maka UNTIRTA akan tumbuh sebagai universitas berdampak: menyatu dengan kehidupan masyarakat, relevan dengan zamannya, dan memberikan manfaat yang melampaui ruang administratif.***

Editor: Esih Yuliasari

Bagikan Artikel

Terpopuler_______

Scroll to Top