EKBISBANTEN.COM – Maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak salah satu faktornya disebabkan masih adanya persepsi yang salah tentang perempuan dan anak. Diantaranya, perempuan dianggap makhluk lemah dan tak mampu berbuat apa-apa, perempuan urusannya hanya di dapur saja, perempuan kelompok kelas dua dibanding laki-laki. Begitu pun dengan anak, anak dianggap milik orangtua dan orangtua punya hak untuk memperlakukan anak sesuai keinginannya.
Padahal, dalam ajaran Islam pun perempuan ditempatkan dalam posisi yang mulia. Perempuan punya hak yang sama juga dengan laki-laki, baik di kehidupan keluarga maupun berkiprah dalam pembangunan bangsa dan berkarier. Dan orangtua tidak punya hak terhadap anak, namun tanggungjawablah bagi orangtua untuk memperlakukan anaknya dengan sebaik-baiknya, sesuai amanat yang diberikan Allah SWT kepada orangtua.
Sosialisasi Tentang Perempuan dan Anak
Sosialisasi tentang perempuan dan anak menjadi hal yang penting karena permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak begitu banyak. Undang-Undang juga sudah mengamanatkan ada perlakuan yang sama terhadap perempuan dan laki-laki. Ada tanggungjawab yang sama untuk melindungi HAM perempuan, tanggungjawab pemerintah, pemda untuk bersama-sama mengupayakan perlindungan terhadap perempuan dan Anak.
Sosiologis
Jika kita melihat pertimbangan sosiologisnya banyak perempuan yang mengalami hambatan, diskriminasi, pelabelan dan stereotype yang sifatnya negatif terhadap perempuan. Tidak ada ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi. Hambatan ini menyebabkan pembunuhan karakter terhadap perempuan yang tidak bisa menikmati hak asasinya seperti yang sudah diamanatkan di dalam undang-undang.
Seharusnya Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memiliki program untuk peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak. Hal ini sejalan dengan program Nawacita Presiden Joko Widodo yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bersama-sama berkiprah dalam pembangunan bangsa dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan atau pun Anak.
Diskriminasi
Diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini menjadi hambatan bagi perempuan untuk bisa maju dan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Tanggung jawab bagi kita terutama Pemerintah untuk bisa meluruskan persepsi yang salah agar masyarakat tahu. Sebenarnya dalam sosialisasi seperti ini sasaran yang tepat adalah memberikan sosialisasi kepada laki-laki, bapak-bapak. Karena laki-lakilah yang bisa melindungi perempuan, bukan perempuannya. Tetapi umumnya sosialisasi yang dilakukan kaitan perlindungan perempuan atau anak yang datang lebih banyak ibu-ibunya. Kenapa kita ingin laki-lakinya yang lebih banyak datang karena kita ingin memberi masukan kepada bapak dan ibu, betapa pentingnya perempuan dan anak.
Sebab tidak mungkin laki-laki hidup sendiri tanpa perempuan. Karena Allah SWT sudah menciptakan makhluk berpasang-pasangan, Allah SWT, berfirman: Artinya: “ Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)”. (Q.S Adz-Dzariyat [51] : 49).
Budaya Patriarki yang ada di Masyarakat
Mendengar suguhan berita, mata dan telinga kita dalam sepekan ini disuguhi informasi yang nirnalar. Kasus yang menewaskan perempuan muda yang tewas oleh pacarnya sendiri sangat menyayat hati yang mendengarnya. Dan banyak berita-berita lainnya yang penulis baca dimana ada beberapa kasus yang penulis dampingi Sebagai korban anak diduga telah menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah tirinya, paman, tetangga bahkan pelaku yang dikenal oleh korbannya.
Meskipun saat ini sudah ada dan tersedia sedemikian banyak instansi layanan dan pengaduan bagi korban, akan tetapi saya meyakini, masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak terungkap dan diketahui oleh berbagai layanan tersebut dan juga Negara. Hal ini dimaklumi, mengingat keberpihakan kepada para korban tidak lebih baik dari perlakuan hukum kepada para pelaku.
Kita semua pasti berangan dan sungguh mengharapkan, sejatinya penanganan proses hukum kejahatan Kekerasan, seksual harus dan wajib berorientasi pada korban, bukan hanya pada aspek keterpenuhan hukum semata.
Selain itu budaya patriarki dimana kaum lelaki adalah superior dan kaum wanita adalah inferior menjadi alasan klasik yang tidak akan selesai tanpa adanya kesepakatan dan kesepahaman bersama bahwa budaya patriarki yang banyak berdampak negative ini harus dihapus. Kaum wanita di dalam lingkungan ataupun keluarga baik itu istri maupun anak adalah kaum yang harus dibela dan dilindungi dalam koridor kesetaraan gender di dalam keluarga (Handayani, 2016; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2020; Lubis, 2017; Muhajarah, 2016; Purwanti & Zalianti, 2018).
Budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat menyuburkan pendekatan patriarki di setiap lini kehidupan, baik di ranah sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan dalam ranah hukum pada saat penyusunan regulasi. Realita terakhir ini sudah seharusnya menjadi fokus perhatian dari pemerintah selaku pembuat kebijakan untuk dapat menemukan rumus terbaik dalam pencegahan perilaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di masyarakat. Permasalahan utama nya adalah ketimpangan di masyarakat ini terus dinarasikan menjadi sebuah kewajaran (Afifah, 2017; Indaryani, 2019; Primagita & Riantoputra, 2019; Rosida, 2018; Sumadi, 2017; Yusalia, 2014).
Sudah saatnya semua pihak menjadi kolaborator dari penjaminan hak hak asasi manusia dan mengikis habis ketimpangan relasi kuasa antara laki laki dan perempuan di dalam lingkungan manapun, baik di ranah keluarga, maupun dalam ranah dunia profesionalisme seperti di lingkungan pendidikan dan lingkungan sosial.
Relasi Kuasa
Dari beberapa kasus yang penulis analisa, meski ketika didalami lebih lanjut ada berbagai faktor penyebab lainnya, akan tetapi benang merah utamanya selain mindset para pelaku yang sudah kadung berfikir kotor adalah faktor Ketimpangan Relasi Kuasa. Pelaku merasa memiliki otoritas atas korban. Pelaku merasa lebih dominan dan mempunyai kesempatan untuk dapat melakukan dominasi terhadap korban.
Ketimpangan relasi kuasa dapat dicontohkan misal antara orangtua dengan anaknya, dosen dengan mahasiswa, senior dan juniornya, atasan dan bawahannya, atau antara banyak orang dengan satu orang, dan sebagainya. Bahkan, bisa saja relasi kuasa terjadi antara seseorang dengan orang yang disukai atau dikaguminya (Contoh Kasus yang sedang Viral saat ini), meskipun tak punya hubungan secara langsung.
Menurut Penulis faktor utama terjadinya kejahatan, kekerasan/pelecehan seksual adalah pelaku merasa lebih mudah untuk melakukan tindakan kejahatan dan atau perbuatan cabul tersebut adanya relasi kuasa. Peningkatan dan penguatan pemahaman terhadap kesetaraan hak antara laki laki dan perempuan serta bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan bagi para pihak di dalam keluarga maupun lingkungan, pendidikan menjadi salah satu poin krusial penyelesaian persoalan kekerasan ini.
Dengan meningkatnya pemahaman serta menguatnya perhatian para pihak di dalam keluarga terhadap bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak akan menjadi batas atau dinding pemisah yang tegas antara melakukan tindak kekerasan ataukah melindungi hak-hak para perempuan dari kekerasan sekaligus menghancurkan relasi kuasa timpang antara keduanya yang telah membudaya selama ini.
Sudah saatnya persepsi yang salah kita rubah dalam melaksanakan upaya perlindungan perempuan dan anak dan budaya patriarki agar lebih inklusif, keberpihakan terhadap korban, pemberian keyakinan, keamanan, kenyamanan, pelayanan maksimal serta pemberian restitusi bagi korban haruslah dilakukan setegak-tegaknya.
Agar kelak mereka, para korban dapat lebih merasa terbantu, para pelaku mendapatkan hukuman yang maksimal, sehingga menjadi satu informasi kepada masyarakat umumnya dan para pelaku, agar tidak ada lagi terjadi kasus-kasus sejenis dikemudian hari. Wallahu’alam.*
Penulis adalah: Dosen STIA Banten, Pekerja Sosial, Komunitas Pandeglang Care Movement.