Ahmad Fauzi: Memulihkan Kognisi, Peran Kritis Pendidikan Nonformal dalam Ekosistem Digital

- Senin, 1 Desember 2025

| 07:54 WIB

Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi. (FOTO: DOK. PRIBADI).

EKBISBANTEN.COM – Di era ketika jawaban bisa ditemukan hanya dengan sekali klik, banyak orang tanpa sadar kehilangan kemampuan untuk berpikir mendalam. Informasi melimpah, tetapi pemahaman sering dangkal. Di sinilah pendidikan nonformal mengambil peran penting. Dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan dekat dengan kebutuhan masyarakat, pendidikan nonformal membantu memulihkan kemampuan kita untuk mencerna, memahami, dan mengkritisi informasi. Bukan sekadar mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi membimbing kita agar tetap mampu berpikir jernih di tengah hiruk-pikuk dunia digital.

Revolusi digital telah membawa perubahan mendasar dalam ekosistem pendidikan. Akses informasi yang serba instan melalui mesin pencari dan platform digital telah menggeser peran tradisional pendidik dan proses pembelajaran yang bersifat bertahap. Meskipun efisiensi dan kemudahan akses menjadi nilai tambah, muncul pertanyaan kritis: apakah transformasi ini telah mendorong pembelajaran yang lebih bermakna atau justru mengikis kedalaman berpikir?

Teori kognitivisme, yang menekankan proses mental internal seperti pemrosesan informasi, penalaran, dan konstruksi pengetahuan, menawarkan lensa untuk menganalisis fenomena ini. Menurut Schunk (2012), belajar bukanlah sekadar menerima informasi, tetapi melibatkan aktivitas kognitif yang kompleks, termasuk mengorganisasi, menghubungkan, dan menerapkan pengetahuan dalam konteks yang relevan. Perspektif ini menjadi landasan untuk mengevaluasi efektivitas pembelajaran digital.

Kognitivisme berakar pada pemikiran para ahli seperti Piaget, Bruner, dan Ausubel, yang menekankan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer secara pasif, melainkan harus dikonstruksi melalui pengalaman dan refleksi (Bruner, 1960; Ausubel, 1968). Ausubel (1968) menyatakan bahwa pembelajaran bermakna terjadi ketika informasi baru terintegrasi dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki individu. Proses ini melibatkan asimilasi dan akomodasi, yang memungkinkan pembelajar untuk mengembangkan pemahaman yang holistik.

Namun, implementasi teknologi dalam pendidikan sering kali mengabaikan prinsip-prinsip ini. Banyak institusi pendidikan mengadopsi Learning Management System (LMS) dan alat digital lainnya tanpa mempertimbangkan beban kognitif yang ditimbulkannya. Menurut Sweller (1988), desain pembelajaran yang tidak memperhatikan kapasitas memori kerja dapat menghambat pemrosesan informasi yang efektif. Akibatnya, pembelajaran digital sering kali berujung pada surface learning daripada deep learning.

Salah satu tantangan utama dalam pembelajaran digital adalah kecenderungan shortcut learning, di mana pembelajar lebih fokus pada pencarian jawaban instan daripada proses memahami konsep secara mendalam. Hal ini berpotensi melahirkan generasi yang memiliki akses informasi luas tetapi kemampuan berpikir kritis yang terbatas. Mayer (2014) menegaskan bahwa teknologi seharusnya berfungsi sebagai alat untuk mendukung proses kognitif, bukan menggantikannya.

Selain itu, multimedia pembelajaran yang tidak dirancang dengan baik dapat meningkatkan extraneous cognitive load, yang mengganggu proses encoding informasi ke dalam memori jangka panjang. Untuk mengatasi ini, prinsip-prinsip desain multimedia seperti signaling, contiguity, dan coherence perlu diterapkan (Mayer, 2014).

Peran Kritis Pendidikan Non Formal

Pendidikan nonformal menawarkan pendekatan yang fleksibel dan kontekstual untuk menjawab tantangan di atas. Sebagai bagian dari pendidikan sepanjang hayat (lifelong learning), pendidikan nonformal berperan sebagai jembatan antara teknologi dan pembelajaran bermakna (Simkins, 1977). Melalui pendekatan andragogi, pendidikan nonformal menciptakan ruang bagi pembelajar untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan masyarakat (Knowles, 1984).

Beberapa kontribusi strategis pendidikan nonformal dalam era digital meliputi:

  1. Program Literasi Digital Kritis: Tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, tetapi juga kemampuan menilai kredibilitas informasi dan menggunakan teknologi secara bertanggung jawab (UNESCO, 2018).
  2. Pembelajaran Berbasis Komunitas: Memanfaatkan teknologi untuk memperkuat kolaborasi dan pemecahan masalah riil di masyarakat (Rogers, 2004).
  3. Pelatihan Kecakapan Hidup: Mengintegrasikan teknologi dengan pengembangan kemampuan analitis, kreativitas, dan komunikasi.
  4. Pembelajaran Mandiri: Memanfaatkan platform digital untuk memfasilitasi self-directed learning yang sesuai dengan kebutuhan individu (Merriam & Bierema, 2014).

Pendidikan nonformal juga berperan dalam mengembangkan digital adaptive skills melalui program pelatihan yang responsif terhadap perubahan teknologi. Menurut Jarvis (2010), pendidikan nonformal berfungsi sebagai “penyeimbang” dalam ekosistem pendidikan dengan menyediakan ruang untuk pengembangan keterampilan kognitif tingkat tinggi yang sering terabaikan dalam pendidikan formal.
Untuk memastikan teknologi digunakan secara efektif, pendidik perlu merancang pengalaman belajar yang selaras dengan prinsip kognitivisme. Model pembelajaran seperti problem-based learning, project-based learning, dan inquiry learning dapat diterapkan untuk mendorong keterlibatan aktif dan konstruksi pengetahuan (Bruner, 1960). Dalam konteks pendidikan nonformal, pendekatan ini dapat diwujudkan melalui program pelatihan yang memadukan pertemuan tatap muka dengan pembelajaran daring yang bermakna (blended learning) (Garrison & Vaughan, 2008).

Selain itu, pendidikan nonformal dapat memanfaatkan teknologi untuk menciptakan alternatif pathway dalam pengembangan kompetensi, seperti melalui program sertifikasi nonformal yang diakui oleh industri. Hal ini memungkinkan pembelajar untuk mengembangkan keterampilan yang relevan tanpa terbatas oleh struktur kurikulum formal.

Tengah pesatnya perkembangan teknologi, pendidikan nonformal memegang peran strategis untuk memastikan bahwa pembelajaran tidak hanya berlangsung cepat dan efisien, tetapi juga benar-benar bermakna. Melalui pendekatan yang fleksibel, kontekstual, dan berakar pada kebutuhan nyata, pendidikan nonformal mampu menjembatani kesenjangan antara laju teknologi dan kedalaman berpikir. Pada akhirnya, tujuan pendidikan bukan sekadar melahirkan individu yang mahir memanfaatkan teknologi, melainkan manusia yang mampu memaknai, mengkritisi, dan mentransformasikan teknologi demi kepentingan masyarakat luas.


Penulis merupakan Dosen Pendidikan Nonformal FKIP Untirta.

Editor: Esih Yuliasari

Bagikan Artikel

Terpopuler_______

Scroll to Top