EKBISBANTEN.COM – Di tengah derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi, keluarga Indonesia dihadapkan pada dua ancaman digital yang semakin mengkhawatirkan: pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol).
Keduanya tak hanya merusak kondisi ekonomi masyarakat, tetapi juga menimbulkan dampak sosial dan psikologis yang serius.
Yang sering terabaikan, persoalan ini sebenarnya bukan sekadar masalah finansial, tetapi juga masalah komunikasi bagaimana pesan, ajakan, dan bujuk rayu digital diterima tanpa filter kritis oleh masyarakat, termasuk generasi muda.
Bahaya Komunikasi Persuasif di Ruang Digital
Iklan pinjol dan judi online hadir dengan pesan yang persuasif dan memikat, Dana cepat cair tanpa jaminan, main sekali bisa untung besar, atau Kesempatan kaya tanpa usaha.
Di balik kalimat sederhana itu tersimpan strategi komunikasi yang halus dan manipulatif. Pesan disusun untuk menyentuh sisi emosional manusia rasa ingin cepat sukses, takut kehilangan kesempatan (fear of missing out), dan kebutuhan diakui secara sosial.
Dari perspektif Ilmu Komunikasi, praktik ini menggunakan pendekatan komunikasi persuasif yang memanfaatkan aspek psikologis khalayak.
Tanpa kemampuan literasi komunikasi yang baik, individu mudah terperangkap dalam narasi semu yang menjanjikan solusi instan, padahal berujung pada jerat utang dan kehancuran finansial.
Keluarga Sebagai Ruang Komunikasi Pertama
Keluarga adalah lingkungan komunikasi paling dasar yang membentuk cara berpikir, merespons, dan menilai pesan. Di era krisis digital ini, komunikasi keluarga bukan lagi sekadar soal nasihat moral, tetapi juga soal kemampuan berdialog tentang dunia digital yang dihadapi anak-anak setiap hari.
Sayangnya, banyak orang tua masih memilih diam atau melarang tanpa menjelaskan. Pola komunikasi satu arah membuat anak mencari jawaban di luar rumah dan di situlah bujuk rayu pinjol dan judol menemukan celah.
Dalam teori komunikasi interpersonal, hubungan yang terbuka, empatik, dan saling mendengar menciptakan kepercayaan (trust), yang menjadi modal penting dalam membentengi anak dari pengaruh negatif digital.
Keluarga yang sehat secara komunikasi akan:
- Membangun dialog terbuka tentang risiko digital tanpa menghakimi.
- Memberi contoh penggunaan media yang bijak.
- Menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bukan hanya patuh.
Literasi Komunikasi Digital sebagai Perlindungan
Keluarga perlu membekali anggotanya dengan literasi komunikasi digital kemampuan memahami dan menilai pesan yang diterima secara kritis.
Anak-anak harus diajak untuk memahami bahwa tidak semua pesan di media sosial adalah benar, dan tidak semua iklan bersifat jujur.
Orang tua dapat menggunakan pendekatan komunikasi edukatif, misalnya dengan mendiskusikan iklan pinjol atau situs game online yang muncul di layar anak.
Tanyakan:
“Menurutmu, kenapa mereka menulis kata-kata seperti itu?”
“Apakah janji itu masuk akal?”
Pertanyaan semacam ini melatih anak untuk berpikir kritis terhadap pesan digital, bukan sekadar menerimanya mentah-mentah.
Peran Media dan Pemerintah dalam Komunikasi Publik
Upaya keluarga tidak akan cukup tanpa dukungan komunikasi publik yang kuat. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan media perlu bersinergi membangun narasi kontra terhadap pesan manipulatif pinjol dan judol.
Kampanye komunikasi publik seharusnya tidak hanya menakut-nakuti, tetapi memberi solusi komunikasi yang humanis dan memberdayakan.
Misalnya, membuat konten edukatif yang menampilkan kisah nyata korban pinjol dan judol, disampaikan dengan pendekatan naratif yang menyentuh emosi dan logika sekaligus. Pendekatan ini lebih efektif dibanding sekadar imbauan formal yang kaku.
Komunikasi Empatik sebagai Kunci Pencegahan
Ketika anak terlibat atau terpapar pada hal-hal berisiko seperti pinjol atau judol, sering kali respon orang tua adalah marah atau menghukum.
Padahal, dalam situasi krisis, yang dibutuhkan justru komunikasi empatik mendengarkan lebih dulu sebelum menghakimi.
Empati membuka jalan bagi pemulihan hubungan dan mencegah anak menutup diri dari bimbingan keluarga.
Sebagaimana teori komunikasi terapeutik menekankan, komunikasi yang menyembuhkan adalah yang mampu menghadirkan rasa aman, bukan ketakutan.
Keluarga yang mempraktikkan komunikasi empatik akan lebih siap menghadapi risiko digital apa pun yang menimpa anggotanya.
Penutup
Fenomena pinjol dan judol bukan hanya masalah hukum, ekonomi, atau moral, tetapi juga masalah komunikasi keluarga.
Di tengah derasnya arus pesan digital, keluarga harus menjadi benteng pertama yang menanamkan kemampuan literasi dan empati.
Kunci utamanya bukan pada larangan, tetapi pada dialog, kepercayaan, dan pemahaman bersama.
Jika keluarga mampu menciptakan ruang komunikasi yang sehat dan terbuka, maka generasi muda akan lebih kuat menghadapi segala bentuk rayuan digital yang menyesatkan.
Sebab, pada akhirnya, komunikasi yang hangat dan jujur di rumah adalah antivirus terbaik bagi krisis digital di luar sana.
*Silvi Aris Arlinda, S.I.Kom., M.I.Kom merupakan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Slamet Riyadi.






