EKBISBANTEN.COM – Saat ini kecerdasan buatan juga dikenal sebagai AI adalah fenomena yang tidak dapat dihindari.
Melalui hitungan detik Anda dapat membuat karya seni digital artikel laporan dan lain-lain. Namun kecanggihan itu menimbulkan masalah besar: disrupsi literasi.
Manusia saat ini hidup di era di mana mesin telah berkembang menjadi mitra pemikiran daripada sekadar alat bantu.
Kemampuan dasar manusia untuk membaca menulis dan memahami data terancam melemah di tengah kemudahan itu.
Makna Literasi Berubah. Literasi dulunya berarti kemampuan membaca dan menulis. Ini sekarang berarti kemampuan untuk mendapatkan memahami dan menilai data.
Literasi digital bahkan mencakup mengelola data mengidentifikasi hoaks dan memahami cara algoritma berfungsi. Meskipun demikian banyak orang lebih suka berhenti di tahap mengakses daripada menghabiskan waktu untuk memahami karena kemudahan AI.
Orang-orang dapat menulis dengan bantuan mesin tetapi mereka kehilangan kemampuan untuk merenungkan apa yang mereka tulis.
Literasi yang seharusnya merupakan proses berpikir kritis sekarang menjadi aktivitas instan yang sederhana cepat dan dangkal. Kemudahan yang Mengesankan. AI benar-benar memanjakan pengguna.
Jurnalis dapat membuat draf berita otomatis siswa dapat menulis esai dalam hitungan menit dan pekerja kantoran dapat menyusun laporan tanpa mengetik panjang lebar.
Namun kemudahan itu membawa konsekuensi negatif seperti ketergantungan dan kemalasan intelektual. Kemampuan seseorang untuk berpikir mandiri berkurang seiring dengan frekuensi penggunaan AI tanpa refleksi.
Dalam jangka panjang kita mungkin akan memiliki generasi yang terampil dalam penulisan teks tetapi tidak memiliki kemampuan untuk memahami dan memahami informasi.
Budaya justru dirusak oleh literasi yang sebenarnya berfungsi untuk membentuk karakter dan daya pikir. Kita mulai kehilangan kecenderungan untuk menulis dengan pertimbangan berbicara dan membaca dengan teliti.
Kita sering lupa bahwa membaca dan menulis bukan hanya membuat teks tetapi juga proses berpikir. Manusia kehilangan rasa ingin tahu ketelitian dan kecepatan berpikir ketika semua dapat dilakukan oleh mesin.
Selain itu bergantung pada AI dapat menghasilkan generasi yang pintar secara teknis tetapi tidak memahami konteks dan nilai.
Di sinilah disrupsi literasi paling nyata: ketika manusia berhenti berpikir karena mesin sudah berpikir untuk mereka.
Membangun Literasi Baru di Tengah Disrupsi. Disrupsi tidak berarti runtuh. Ia dapat berfungsi sebagai dorongan untuk membangun jenis literasi baru yang lebih fleksibel.
Dalam era kecerdasan buatan literasi tidak hanya tentang menggunakan teknologi itu juga tentang memahami memahami dan mengendalikan teknologi tersebut.
Di tengah gempuran AI membangun kembali fondasi literasi membutuhkan tiga langkah penting.
Pertama, perhatikan algoritma, Hasil AI tidak selalu netral Pengguna harus menyadari bahwa semua data memiliki bias dan perlu diverifikasi.
Kedua, gunakan kecerdasan buatan sebagai alat bukan sebagai pengganti pikiran. Teknologi harus membantu kreativitas bukan mengganti proses berpikir.
Ketiga, tanamkan standar untuk literasi digital. Kejujuran intelektual dan integritas harus menjadi dasar setiap penggunaan teknologi.
Dengan demikian AI dapat berfungsi sebagai mitra yang memperkaya literasi daripada menghancurkannya. Dunia Cerdas Buatan Membutuhkan Literasi. Kecerdasan digital dan moral diperlukan dalam era kecerdasan buatan.
Literasi bukan hanya kemampuan membaca teks itu juga mencakup memahami makna dan konsekuensi sosial dari teknologi yang digunakan.
Mereka yang memahami literasi digital tidak hanya tahu cara menggunakan AI tetapi juga mampu menilai menyaring dan bertanggung jawab atas data yang dihasilkan.
Jika dihadapi dengan bijak disrupsi literasi di era AI tidak merupakan ancaman. Ia sebenarnya dapat berfungsi sebagai peluang untuk menumbuhkan cara berpikir generasi berikutnya yang lebih cerdas sadar dan moral.
Karena teknologi apa pun tidak dapat menggantikan kemampuan manusia untuk memahami merasakan dan memaknai dunia.
Di era kecerdasan buatan disrupsi literasi adalah fenomena nyata yang memiliki dua sisi. Di sisi lain kecerdasan buatan mempercepat proses belajar dan meningkatkan akses ke data.
Kemudahan itu di sisi lain berpotensi merusak kemampuan berpikir reflektif analitis dan kritis manusia.
Literasi tidak sebatas pada kemampuan menggunakan teknologi itu harus mencakup kemampuan untuk memahami mempertimbangkan dan mengarahkan teknologi agar tetap bermanfaat bagi kemanusiaan.
Orang harus tetap menjadi bagian penting dari kemajuan pengetahuan bukan hanya menjadi penonton dalam kemajuan mesin.
*Penulis merupakan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Slamet Riyadi Surakarta.






