Oleh: Muhammad Irfan Tegar Algifari (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa)
Era disrupsi telah mengubah wajah dunia dengan sangat cepat. Teknologi digital, kecerdasan buatan, dan media sosial kini menjadi bagian dari denyut kehidupan sehari-hari. Di tengah perubahan besar ini, mahasiswa hukum dituntut untuk tidak hanya memahami teks undang-undang, tetapi juga mampu membaca konteks sosial yang terus berkembang. Hukum tidak lagi berdiri di ruang sempit pengadilan, melainkan hadir di ruang publik virtual, di setiap layar gawai, bahkan di setiap klik yang dilakukan manusia modern.
Tantangan hukum saat ini tidak lagi sesederhana masa lalu. Munculnya persoalan baru seperti kejahatan siber (cyber crime), pencemaran nama baik di media sosial, penyalahgunaan data pribadi, hingga kecerdasan buatan yang melanggar privasi, menuntut mahasiswa hukum untuk berpikir kritis dan responsif. Misalnya, kasus penyebaran hoaks yang menyebabkan keresahan publik tidak hanya membutuhkan penegakan hukum, tetapi juga pemahaman etika digital dan kesadaran sosial. Di sinilah mahasiswa hukum harus hadir, tidak hanya sebagai pengamat, tetapi juga sebagai agen perubahan yang mampu memberikan pencerahan hukum kepada masyarakat.
Kampus adalah tempat terbaik untuk menanamkan nilai-nilai itu. Melalui kegiatan seperti sidang semu, debat hukum, forum diskusi, dan pelatihan advokasi, mahasiswa hukum belajar untuk berpikir sistematis, berargumentasi dengan logika, dan membela kebenaran dengan nurani. Misalnya, ketika mengikuti sidang semu dengan topik “Pelanggaran Etika dalam Dunia Digital”, mahasiswa belajar bahwa keadilan tidak hanya dilihat dari pasal yang kaku, tetapi juga dari rasa kemanusiaan dan tanggung jawab moral terhadap sesama pengguna dunia maya.
Selain itu, dunia hukum kini membuka banyak jalan baru bagi generasi muda. Profesi di bidang hukum tidak lagi terbatas pada hakim, jaksa, atau advokat. Kini, banyak peluang muncul sebagai legal consultant untuk startup digital, policy analyst di lembaga pemerintah, researcher di bidang hukum siber, bahkan legal technologist yang mengembangkan sistem hukum berbasis teknologi. Contohnya, beberapa mahasiswa hukum telah terlibat dalam pengembangan aplikasi pelaporan hukum berbasis online untuk membantu masyarakat melaporkan pelanggaran tanpa harus datang ke kantor polisi. Inovasi semacam ini menunjukkan bahwa ilmu hukum bisa bersinergi dengan teknologi demi kepentingan publik.
Namun, di tengah derasnya arus kemajuan, integritas dan moralitas tetap menjadi fondasi utama. Tanpa keduanya, hukum akan kehilangan jiwanya. Mahasiswa hukum harus menyadari bahwa keadilan bukan hanya perkara menang atau kalah di pengadilan, tetapi juga tentang bagaimana hukum dijalankan dengan nurani. Hukum yang berkeadilan lahir dari keberanian untuk bersuara bagi yang tertindas, empati terhadap yang lemah, dan komitmen terhadap kebenaran meski dihadapkan pada tekanan kekuasaan.
Sebagai calon penjaga keadilan masa depan, mahasiswa hukum dari perguruan tinggi manapun memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga martabat hukum agar tetap berpihak pada kemanusiaan. Dunia boleh berubah, teknologi boleh berkembang, tetapi nilai kejujuran dan keadilan harus tetap dijaga.
Dengan semangat “belajar, berproses, dan berkontribusi,” mari bersama membangun masa depan hukum yang berkeadilan, beretika, dan humanis dimana hukum yang tidak hanya berpihak pada teks, tetapi juga menyentuh hati manusia.






