Saksi Perekam Kasus Pemukulan Anggota Paskibra SMAN 1 Kota Serang Ajukan Perlindungan ke LPSK

- Selasa, 30 September 2025

| 14:24 WIB

SMAN 1 Kota Serang
(FOTO: ESIH/EKBISBANTEN.COM).

SERANG, EKBISBANTEN.COM – Saksi perekam dalam kasus dugaan pemukulan terhadap seorang anggota Paskibra SMAN 1 Kota Serang disebut mengalami tekanan dari pihak tak dikenal.

Kondisi tersebut membuat saksi perekam mengajukan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Ketua Komite SMAN 1 Kota Serang, Muhammad Arif Kirdiat mengatakan saksi perekam merasa diteror sehingga membutuhkan perlindungan resmi.

“Teror pertama itu ada sekelompok masyarakat yang mendatangi rumah saksi, memfoto, mengambil gambar, dan itu menjadi trauma tersendiri bagi saksi,” kata Arif dalam konferensi pers yang digelar Selasa (30/9/2025).

Selain itu, Arif menuturkan, video rekaman yang seharusnya tidak disebarkan justru beredar dalam bentuk potongan dan viral di media sosial. Hal tersebut membuat saksi perekam semakin tertekan.

Sementara Ibu dari saksi perekam, Neneng Fitria Pary, menuturkan keluarganya tidak mengetahui siapa yang memotret rumah mereka sebelum anaknya diperiksa polisi.

“Saat kejadian itu, sebelum anak saya di-BAP (Berita Acara Pemeriksaan), pada tanggal 20 sore ada pemotretan rumah saya. Anak saya melihat sendiri,” ujarnya.

Menurut Neneng, peristiwa itu membuat anaknya depresi. Tekanan semakin bertambah ketika anaknya menerima surat undangan pemeriksaan dari kepolisian di malam harinya.

“Anak saya sudah depresi. Begitu ada pemanggilan saja, dia langsung menangis dan merasa bersalah. Padahal dia merekam karena empati kepada korban, lalu menyerahkan videonya saat korban divisum,” jelasnya.

Neneng menambahkan, anaknya merasa terpukul karena video yang direkam dengan niat baik justru tersebar sepotong dan menimbulkan persoalan baru.

“Mental anak saya sangat terganggu. Dia sakit pada tanggal 19, lalu tanggal 20 seharusnya BAP. Tapi akhirnya kami membawa dia ke Kementerian Perlindungan Anak untuk konsultasi kesehatan mental,” terangnya.

” Dia ketakutan, merasa bersalah, dan depresi. Karena itu kami tidak menghadiri BAP pertama,” sambung Neneng.

Selain tekanan psikologis, ia menyebut anaknya juga sempat mendapat pukulan dari pelaku. Namun, pihak keluarga memilih memaafkan setelah mediasi pertama yang dihadiri keluarga pelaku.

“Pada saat mediasi, orang tua korban tidak datang. Tapi orang tua pelaku hadir sambil menangis, anaknya juga minta maaf. Kami yang tadinya emosi akhirnya luluh, dan memaafkan,” pungkasnya.***

Editor: Rizal Fauzi

Bagikan Artikel

Terpopuler_______

Scroll to Top