SERANG, EKBISBANTEN.COM- Tahapan pencoblosan dalam Pemilu 2024 telah usai 14 Februari lalu. Perhitungan versi cepat alias Quick Count dan Real Count KPU menunjukkan pasangan capres cawapres Prabowo-Gibran rata-rata unggul mengalahkan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Kendati demikian, kedua paslon nomor urut 1 dan 3 menduga ada kecurangan kepada paslon nomor urut 2 sepanjang kontestasi Pilpres 2024.
Terbaru soal wacana pengguliran hak angket dan hak interpelasi yang dimiliki oleh DPR untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu 2024.
Merespon itu, Pengamat Hukum Tata Negara (HTN) Unpam Kampus Serang Dede Firdaus Suyadi menilai, hak angket maupun hak interpelasi tak bisa digunakan untuk membatalkan hasil Pilpres.
Kedua hak yang dimiliki legislatif tersebut hanya bisa untuk menguatkan dugaan kecurangan kepada Prabowo-Gibran.
Dede menerangkan, hak angket merupakan hak yang dimiliki oleh DPR untuk dapat menyelidiki terkait dengan kebijakan pemerintah, termasuk Pilpres yang disinyalir memiliki pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Adapun, jelas Dede, lembaga yang berwenang untuk memutus perkara hasil Pilpres bukan pada legislatif, namun hal itu hanya ada pada ketukan Palu Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, di mana lembaga kehakiman yang lahir era Reformasi itu berwenang menguji UU terhadap UUD 1945.
Lalu memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kemudian memutus pembubaran partai politik serta memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
“Dari segi hukum, itu wewenang MK, itu sudah jelas. Tapi isu-isu yang beredar bahwa hak angket bisa membatalkan atau bisa menjadi antitesis dari hasil Pilpres ini, maka dapat saya katakan bahwa itu tidak bisa,” ujarnya saat ditemui di Kampus Unpam Serang, Kamis (22/2/2024).
“Terkait dengan sengketa Pilpres itu murni MK, yang bisa membatalkan itu MK. Tapi, ada tapinya, hak angket ini bisa menjadi sebuah fasilitas, wadah ataupun saran dari anggota DPR yang didorong nanti ke MK. Hak angket sebagai penambah, penambah untuk nanti keputusan MK,” sambungnya.
Sama seperti hak angket, kata Pria bersuku Padang itu, hak interpelasi pun demikian. Hak interpelasi yang merupakan hak konstitusinya DPR untuk bertanya atau meminta keterangan kepada pemerintah. Itu pun terkait kebijakan yang diambil oleh eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan, bukan hak untuk melakukan putusan terkait dugaan kecurangan Pilpres.
“Sebenarnya sama saja, jawabannya tetap sama, tak bisa (dibatalkan hasil Pilpres), karena outputnya (putusan sengketa Pilpres) ada di MK,” jelasnya.
Lebih jauh, kedua hak yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD itu, tak akan efektif dilakukan mengingat tenggang waktu dan proses politiknya yang alot serta sulit diwujudkan.
“Hak Interpelasi harus diusulkan paling sedikit 25 orang anggota DPR dan syaratnya lebih dari satu fraksi. Usul itu dapat menjadi hak interpelasi DPR, jika mendapat persetujuan dari rapat paripurna. Itupun harus dihadiri lebih dari satu per dua jumlah anggota DPR,” jabar Dede.
Hak angket pun demikian, Dede menjelaskan, harus dihadiri dan mendapat persetujuan lebih dari setengah anggota DPR. Apabila diterima, maka dibentuk panitia khusus untuk melakukan penyelidikan, dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR.
“Paling lama itu 60 hari sejak dibentuknya panitia. Tapi kita melihat masa waktu dari bulan sekarang sampai Oktober 2024, sepertinya tidak bisa dilaksanakan,” tukasnya.