Hal ini terlihat dari caranya merespon edaran Pemkot Serang bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Serang atas pembatasan operasional warung nasi selama bulan Ramadan.
“Seharusnya Jubir Kemenag datang langsung ke Kota Serang. Toh dia punya akses. Jangan sampai, toleransi yang selama ini tumbuh di Kota Serang dipotret sekilas dan tak utuh,” kata Ketua Umum HMI Cabang Serang Faisal Dudayef Payumi Padma, Sabtu (17/4).
Jubir Kemenag seperti tak mengetahui bagaimana sejarah toleransi umat beragama di Kota Serang.
Di Bali orang Hindu saat merayakan nyepi. Bagi non Hindu yang ada di Bali harus menaati apa yang menjadi tradisi disana.
Banten pada umumnya, bagi mereka yang tak wajib menjalankan ibadah puasa. Secara pribadi atau non Muslim ikut serta mempersiapkan diri dalam menghadapi Ramadan. Salah satunya persiapan untuk bahan konsumsi.
“Ya, kalau tidak berpuasa. Sebaiknya, di rumahnya sendiri. Bukan di tempat umum. Kan, gampang. Tidak mengada-mengada. Seperti genit toleransi saja,” kata Faisal.
Lanjut Faisal, toleransi itu saling menghargai. Tapi, bukan menghilangkan tradisi. Kami melihat, tradisi ini harus tertanam secara bersama-sama. Karena memang, dalam Ramadan. Belajar menghargai tidak hanya bagi yang berpuasa, begitu pun bagi yang tidak berpuasa.
“Jubir Kemenag tak asal ucap dan mengundang reaksi publik yang berujung pada terjadinya perpecahan. Terlebih Ramadan tahun ini Indonesia masih dalam suasana Pandemi Covid-19,” katanya.
“Kami meminta Menag mengevaluasi kinerja Jubir Kemenag Abdul Rochman. Ia berucap serampangan tanpa melihat historis dan fakta yang terjadi di daerah. Kalau kinerja Jubir seperti ini bagaimana menjaga marwah lembaga negara seperi Kemenag,” sambung Faisal.
Hak Asasi Manusia salah satunya kebebasan bergama, ketika sudah beragama maka hak-haknya aktivitas individunya diatur oleh agama. (*/Raden)
]]>